[Hotergyu Series] Piece of Cake

Written by Sunflowinter ©2020

[TXT] Beomgyu [AESPA] Winter [ATEEZ] Jongho

Sebelumnya Whelve  The Law of Focus

.

.

Sejak jam tiga sore hujan mengguyur deras wilayah Seoul. Di rumah hanya ada Winter Kim seorang diri. Sedari tadi kakaknya, Hongjoong, juga bolak-balik minta video call seakan khawatir adiknya diculik. Awalnya diangkat, tapi lama-lama dibiarkan berdering karena Winter jengah, lagi pula Hongjoong tidak banyak omong di sana.

Kenapa sangat protektif, sih? Winter, kan, bukan anak kecil lagi!

Winter sekarang menunggu Jongho yang katanya mau mampir, tapi cowok itu sedang membeli ramen rebus di warung yang tak jauh dari rumah. Di lain sisi Winter kadang masih bingung tentang perkataan Jongho yang bilang akan melamarnya (bahkan sudah menyiapkan cincin). Winter berusaha keras agar tidak terlalu kepikiran, tapi tetap saja otaknya tidak mau diam, apalagi setiap mau tidur bukannya berdoa malah overthinking dulu.

Mau menyalakan televisi tapi tidak ada tontonan seru. Melirik ponsel yang tergeletak naas di karpet bawah sofa saja sudah ingin muntah karena berbagai pesan ala-ala obat penenang tak kunjung berhenti. Jadi, setelah ini apa? Menunggu hujan reda, makan ramen, lalu jalan-jalan sama Jongho di sekitaran komplek? Ide bagus, karena biasanya udara setelah hujan itu sejuk.

Tubuh Winter mendadak tersentak kaget saat ketukan di pintu utama bergema sampai ruang tamu, temponya cukup pelan hingga Winter menajamkan telinga kalau-kalau salah dengar. Namun ternyata ketukan itu semakin cepat seiring waktu hingga Winter berteriak kesal, “Iya, sebentar!” Kemudian saat kenop pintu terputar, muncul manusia berperawakan lumayan tinggi yang membawa semangkuk mi nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam dan malah menggumam ‘panas, panas, panas’ dengan ekspresi datar seakan tengah merapal mantra.

“Jong, kamu—“

“Heh, hapemu itu nggak ada fungsinya, ya? Di kakao nggak dibalas, ditelepon nggak diangkat-angkat.”

Winter tertawa. “Maaf. Kukira itu dari Kak Hongjoong.” Lalu matanya turun kepada mangkuk yang di atasnya ada asap mengepul. “Lho, kok, pangsit? Tadi katanya ramen?”

“Ngawur. Ini namanya ramen pangsit.”

“Ha?”

“Ramen pangsit adalah ramen yang terdiri dari daging cincang yang dibungkus dengan selaput yang terbuat dari adonan tepung terigu, digoreng, direbus—“

“Bodoamat, Jong, sekarang ayo makan.”

Jongho menaruh mi di atas meja, lalu mengibas-ibaskan sebentar kausnya yang agak basah. “Porsinya mumpung lumayan banyak. Tapi….”

“Tapi?”

Jongho nyengir, memerlihatkan giginya yang rata. “Kamu punya telur?”

“Telur apa?”

“Dinosaurus.”

“Yaaah, aku cuma punya telur tomket.”

“Nggak lucu.” Ekspresi Jongho kembali datar. “Punya apa enggak?”

“Punya, tapi nggak usah,” protes Winter kemudian mendekati semangkuk mi di atas meja itu, sempat menelan ludah akibat bau yang menyeruak. “Kelamaan, aku kelaparan.”

“Ya sudah.” Jongho mengangguk patuh. “Kalau nasi, ada?”

“Ada.” Winter berlarian ke dapur untuk mengambil nasi dan dua sendok. “Aku juga punya saus. Mau?”

“Mau.”

Jam empat sore. Hujan semakin deras. Namun suaranya menenangkan karena tidak disertai petir dan angin.

Di suapan ke sebelas, Jongho terkekeh melihat mulut Winter yang menggembung. Porsi nasi yang diambil sedikit menjadi total satu piring setelah mereka sepakat untuk menambah sebanyak tiga centong. Niatnya untuk meminimalisir lapar, tapi melihat Winter yang kelepasan sendawa dan keadaan nasi masih seperempat piring, mereka baru sadar hal ini justru memperburuk keadaan. Namun mereka tetap pantang menyerah seakan hari ini adalah hari terakhir dibolehi makan.

Sebenarnya, Winter berani bersikap apa adanya saat bersama Jongho saja. Bukan berarti dia masih tidak memercayai Beomgyu, namun Winter hanya belum merasa ‘harus’ selalu membuka diri karena kalau putus (amit-amit) takkan ada yang tahu bagaimana perlakuan Beomgyu nanti sebagai dendam. Sedangkan pada Choi Jongho yang sudah dikenalnya lebih dari 15 tahun, Winter beranggapan sia-sia saja jika mau merahasiakan sesuatu karena cowok itu pasti akan cepat memahami situasi, termasuk cara makan yang kadang belepotan saat kelaparan.

Sebenarnya tujuan Jongho datang ke sini untuk menanyakan kronologi Beomgyu bisa jadi pacar Winter. Tapi entah kenapa rencana itu malah menjadi samar, apalagi mendapati suasana hati bahagia Winter yang kontan menghapus gambaran ‘Beomgyu adalah pengganggu. Harus segera kusingkirkan!’ dari kepala.

Tapi, kok, bisa Winny naksir cowok sok ganteng dan cerewet itu?!

Karena bagi Jongho, Winter Kim adalah cewek yang tidak mudah dekat dengan laki-laki, meski begitu dia selalu disukai karena sifatnya yang kalem dan ramah, tapi baru kali ini Jongho melihat mata Winter berbinar tiap kali membicarakan Beomgyu seakan sosok itu memang mempunyai arti penting selain sebagai pacar.

“Hujan-hujan makan mi memang kombinasi yang luar biasa, ya, Jong?”

“Ini namanya mi kedamaian.”

“Mi kedamaian?”

“Iya, soalnya kalau habis makan mi, kita akan jadi tenang.”

“Betul! Kamu memang partner makan terbaikku!”

Partner makan. Bukan partner hidup.

Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan.

Namun Jongho tersenyum lantaran ada kehangatan yang memenuhi rongga hatinya tiap melihat tawa Winter yang khas. Jongho menamainya “tawa penyembuh”, karena layaknya matahari pagi yang mampu meluruhkan lelah dengan sinar hangatnya, tawa itu pun membawa efek yang sama bagi dirinya. Kehangatan yang lahir tanpa pretensi. Tanpa perlu usaha.

“Winny, ponselmu daritadi nyala-nyala.”

Winter merangkak untuk menghampiri benda kotak yang tetap tergeletak di karpet. Jongho awalnya tidak menduga apa-apa, tapi setelah menangkap basah ekspresi Winter yang berubah, Jongho tahu ada yang tidak beres. Jangan bilang kalau….

“Jong, Beomgyu mau ke sini.”

Tuh, kan.

Suasana jadi canggung. Setelah mengucapkan ‘iya nggak apa-apa’ dengan nada senormal mungkin, Jongho melanjutkan makan mi yang tersisa di mangkuk. Sedangkan Winter tidak sanggup membayangkan dua cowok itu bertengkar konyol lagi seperti tempo hari bila bertemu.

“Jong, kamu… apa…. Itu….”

“Winter! Kakaoku kenapa nggak dibalas? Omong-omong, selamat sore, Cantik. Orang tuamu mana? Aku bawa pangsit banyak!”

Terlambat sudah. Beomgyu dengan rambut sedikit lepek dan memakai jaket biru laut, mengacung-acungkan kresek hitam dengan riang. Dia masih belum menyadari keberadaan Jongho yang duduk di bawah sofa, tak jauh darinya berdiri. Sedangkan Jongho, dia sudah tahu Beomgyu datang, tapi enggan menoleh dan tetap melanjutkan makan mi.

“Mama sama papa ke rumah bibi, kakakku belum pulang kerja.” Winter melirik Jongho yang masih acuh di sana. “Sebenarnya aku sama Jongho sudah makan barusan.”

“Jong… ho?” Beomgyu mengikuti arah lirikan Winter, lalu mengembuskan napas panjang. “Bisa-bisanya dia di sini sama kamu berdua?”

Jongho mendongak tanpa ekspresi. “Memangnya kenapa? Dia sahabatku sejak di rahim, tetangga nggak akan ada yang curiga. Justru bahaya kalau dia sama kamu berdua di sini.”

“Berani-beraninya bilang begitu!” Beomgyu mencureng. “Dasar iblis neraka!”

Jongho balas mencureng. “Mohon maaf, Jin Tomang bisa ngaca dulu sejenak?!”

Raut Beomgyu tetiba berubah jadi bingung, setelah itu duduk di sebelah Jongho. “Jin Tomang siapanya Lucifer, ya?”

Jongho malah ikutan bingung. “Adiknya, mungkin? Jin Tomang itu sejenis Balrog, kan?”

“Bodoh. Kamu kira ini Lord Of the Rings?”

“Tapi, kan, Lucifer sebenarnya baik dan diusir dari surga karena nggak mau menyembah Tuhan, sedangkan Balrog sudah di neraka sejak dilahirkan, seperti Jin Tomang. Berarti mereka beda keturunan.”

“Benar juga. Menurutmu, Jin Tomang ada hubungan apa dengan Jin Ifrit?”

“Jin Ifrit siapanya Jin di Aladdin?”

“Yang penting dia bukan Jin di BTS.”

“Kalau itu, sih, kesukaan kakak perempuanku.”

Winter plonga-plongo.

Ini kenapa malah jadi membuka forum diskusi silsilah keluarga Jin?

[….][….][….]

Jam 6 sore. Hujan sudah tidak deras, namun rerintikan masih mengguyur. Ramalan cuaca memperkirakan gerimis takkan reda sampai besok pagi.

“Hati-hati, ya, kalian berdua!” Winter melambai pada Jongho dan Beomgyu yang berjalan ke pagar.

Para cowok itu menoleh dan balas melambai sambil tersenyum.

Apa-apaan? Mereka jadi akrab hanya perkara Jin Tomang? Winter masih tidak habis pikir dengan isi otak keduanya tapi syukurlah, kemungkinan takkan ada pertarungan sengit lagi setelah ini.

Setelah itu mereka pergi dengan motor masing-masing setelah memakai mantel hujan. Winter senang sekali melihatnya. Andaikan mereka bisa rukun sejak awal bertemu, pasti Winter takkan segan-segan mengajak kumpul bertiga. Lagi pula kenapa Jongho harus naksir dirinya, sih? Padahal selama pindah ke Jeju, Winter yakin Jongho menemukan banyak cewek cantik di sana. Bagaimana mungkin dia menahan diri tidak pacaran demi menunggu seseorang yang bahkan sudah punya pacar?

Hadeeeeh. Siapa bilang hanya cewek saja yang pemikirannya rumit?

[….][….][….]

Winter sering bilang kalau Choi Beomgyu sangat random. Contohnya sekarang, dia tetiba menelepon tengah malam ketika Winter masih sibuk mengerjakan tugas kuliah. Awalnya percakapan biasa mengenai kampus, hingga pertanyaan jenius tentang bagaimana cara jitu menghentikan hujan tanpa menggunakan jampi-jampi dukun.

“Cepat tidur. Jangan terlalu dipaksa mengerjakan esai, nanti matamu sakit.”

“Iya, Gyu.”

“Aku tutup, ya?”

“Iya.”

“Enggak apa-apa, kan?”

“Apanya yang enggak apa-apa?”

“Nanti kamu kangen.”

“Kamu yang kangen.”

“Kalau aku memang kangen setiap hari.”

“Sepertinya kamu harus periksa ke dokter.”

“Kenapa?”

“Biar nggak kena penyakit kangen.”

“Itu bukan penyakit, tapi memang mauku sendiri. Kalau cintaku ke kamu itu baru namanya penyakit, dan divonis nggak bisa sembuh.”

Winter menghela napas. Pasrah. “Oke. Tapi ini kapan ditutupnya?”

“Sekarang. Bye.”

Bye.”

Love you.”

Love you too.”

“Aku tidur dulu, ya?”

“Iya.”

“Kamu juga harus tidur. Besok pagi kujemput.”

“Iya, makanya buruan ditutup.”

“Memangnya kamu enggak mau titip salam dulu?”

“Buat siapa? Orang tuamu?”

“Bukan. Buat Choi Beomgyu.”

Mati-matian Winter menahan diri untuk tidak mengirim nuklir ke rumah pacarnya. “Boleh.”

“Salam saja atau memakai pesan?”

“Memangnya bisa memakai pesan?”

“Bisa. Tapi yang singkat saja. Kalau panjang namanya jalan tol.”

Winter tersenyum, lalu memikirkan pesan apa yang harus kusampaikan untuk sosok seperti Beomgyu. “Ngggg… pesannya… jangan lucu.”

“Oke. Jangan lucu. Pesan pertama sudah dicatat. Ada lagi?”

“Kalau masih lucu, lebih baik pacaran sama Kak Hendery. Comedian couple.”

Beomgyu tertawa. Ajaibnya, suara gelaknya menular. “Oke, oke. Sudah selesai titip salamnya?”

“Sudah.”

“Sekarang tidur sana. Jangan lupa besok sarapan yang banyak. Makan buah. Minum susu.”

“Iya.”

“Ayo janji sama Beomgyu biar nggak bohong.”

“Winter janji besok sarapan yang banyak, makan buah, dan minum susu. Puas?”

“Belum. Cium dulu, dong.”

“Choi Beomgyu….”

“Haha, bercanda. Sudah, ya?”

“Iya.”

“Aku tutup, ya?”

“Oke.”

“Enggak apa-apa, kan?”

“BODOAMAT, JIN TOMANG!”

[fin]