Sweet and Sour

Written by Seasideprelude @2020

[ATEEZ] Kim Hongjoong & OC Aliyah

School life, AU  || General || Ficlet

.

.

“Mati aku, Mia! Lupa enggak bawa kaos olahraga!”

“Kok, bisa, sih?”

“Apa aku skip pelajaran dan pura-pura sakit?”

“Kamu pikir Pak Hongjoong bakal langsung percaya?”

Aliyah Choi membenamkan muka di meja. Stress sendiri membayangkan nasib dirinya nanti, apalagi guru olahraga itu tidak segan-segan berkata pedas, sepedas cabai hijau di belakang rumah neneknya.

Mia selaku teman sebangku sekaligus sahabat menepuk-nepuk kepala Aliyah. “Biasanya kamu selalu berpakaian lengkap, kan? Sekali kelupaan mungkin nggak bikin beliau marah.”

“Tetap saja! Pak Hongjoong itu seram.”

“Ya terus kamu mau bagaimana? Kamu mau alasan sakit apa? Mukamu bahkan nggak terlihat pucat, suhu tubuhmu juga normal.”

Susah memang punya guru killer, apalagi perempuan itu belum pernah melihat Hongjoong memberi toleransi pada murid yang melanggar aturan. Meskipun selama ini Aliyah tidak pernah kena tegur, namun selalu ada ketakutan mendalam setiap bertemu Kim Hongjoong, seakan dia phobia pada lelaki yang masih dua tahun mengajar di sekolah itu. Kinerjanya hampir sempurna, pekerja keras, cerdas, adil, muda, serta tampan membuat Hongjoong jadi salah satu guru menonjol meskipun masih tergolong baru.

“Oke. Aku akan jujur saja daripada ketahuan bohong. Tapi Mia, misalkan nanti aku pingsan karena kena tekanan batin, tolong gendong aku ke klinik, ya?”

Mia menggelengkan kepala tak habis pikir. Padahal selama ini Aliyah tidak pernah dapat poin pinalti, jadi kenapa harus setakut itu? Lagi pula, menurutnya, Pak Hongjoong tidak semenakutkan yang dikira. Aliyah hanya hiperbola karena sejak awal memang tidak menyukai guru yang galak.

[…][…][…]

“Mana catatanmu yang kemarin?”

“Lupa bawa, Pak.”

“Mending kamu keluar kalau pikiran kamu di luar. Poinmu saya kurangi sepuluh.”

“Maaf, Pak.”

“Dan rambutmu, kenapa malah ikut pelajaran jasmani? Kenapa nggak ke ruang modelling saja sekalian disemir hijau? Nggak perlu dipotong kalau kamu perlu surat peringatan dari saya.”

Hyunjin menunduk, entah sebagai formalitas atau memang ketakutan. Dia menjauhi Hongjoong sambil menggenggam buku dengan erat. Cowok itu memang sudah 2 kali lupa membawa catatan, ditambah lagi khilaf belum potong rambut.

Aliyah yang melihat hal itu jadi semakin pusing, mulas, berkeringat dingin, dan pandangannya mengabur. Dia mendekati Hongjoong dengan tungkai gemetar. Pikirannya melayang ke mana-mana: dapat penalti, diomeli, dipermalukan di depan semua orang, dijewer, dipukul—aw, mendadak seperti ada yang menekan perutnya, rasanya perih seperti ditusuk garpu. Apa ini efek datang bulan? Tidak. Dua minggu lalu dia bahkan baru selesai. Tapi kenapa begini? Dia bahkan tidak punya riwayat maag. Sampai akhirnya matanya berat, serta kaki dan tangannya mati rasa. Terakhir yang terdengar adalah sayup-sayup suara Haechan yang meneriakkan;

“ALIYAH PINGSAN!”

Mia yang sedang memberi garis lapangan spontan menoleh. Namun saat akan berlari mendekat, Aliyah terlihat sudah digendong di punggung Hongjoong untuk dibawa ke klinik.

Mia menghela napas gusar. “Aktingnya bagus juga.”

[…][…][…]

“Stress karena nggak bawa baju olahraga?”

Hongjoong mengerutkan kening sehabis mendengar penjelasan Mia. Sedangkan sebelumnya Hongjoong sudah cemas duluan ketika dokter di klinik bilang kalau Aliyah sempat mengalami kram perut.

Sebenarnya Mia juga kaget karena tidak menyangka Aliyah akan pingsan sungguhan karena kena serangan panik. Mau tertawa tapi takut dosa. “Aliyah memang panikan, Pak, tapi dia jadi lebih gampang panik kalau berkaitan sama bapak.”

Uraian lugu Mia membuat Hongjoong lagi-lagi tak sanggup memahami jalan pikiran remaja jaman sekarang. Hongjoong bukan psikopat, bukan pula pimpinan NAZI yang akan mencekik siapa saja yang tak menuruti perintahnya. Pun di sekolah ini masih ada guru yang lebih galak dibanding dirinya, lalu kenapa sampai pingsan hanya karena kelupaan bawa perlengkapan olahraga? Sehorror itukah Hongjoong di mata Aliyah?

[…][…][…]

Gadis itu membuka mata. Tidak berharap dijenguk anak-anak sekelas, sih, karena pastinya mereka sedang olahraga di lapangan. Refleks menoleh ke samping, Aliyah menemukan lipatan kaus ungu di atas laci. Apa itu milik Mia? Tidak mungkin. Mana mau Mia rela dihukum demi meminjamkan seragamnya?

Aliyah bangun pelan-pelan, lalu mengelus perutnya yang tadi sempat perih. Konyol sekali. Pasti diam-diam dia jadi bahan gibah temannya. Kemudian tangannya meraih kaus itu yang tampak baru.

Dan ya, sepertinya memang masih baru.

Di sela lipatan, ada sepucuk kertas yang terselip. Aliyah segera membacanya.

Mia sudah jelaskan semuanya. Saya pasti kasih hukuman karena kamu melanggar aturan, tapi saya nggak akan membunuhmu, Aliyah Choi. Jangan terlalu takut.

Kalau masih stress, kamu boleh lanjut istirahat. Kalau mendingan, segeralah keluar dan ikut pelajaran. Saya memaafkan kamu tapi poinmu tetap dikurangi.

Uang seragamnya nggak perlu dikembalikan. Tapi sebagai gantinya, jangan sampai lupa membawa perlengkapan olahraga lagi.

Aliyah langsung mengambil ponsel di saku dan menelepon kakak lelakinya dengan perasaan campur aduk antara lega, senang, heran, ambyar, sekaligus berhutang budi. Ternyata Kim Hongjoong tidak seburuk itu.

“Kak Saaaaaan~ hueeee~”

“Lho, Liyah? Kenapa nangis? Aku sudah berangkat ini.”

“Nggak perlu, Kak. Kamu bawa balik saja seragamku. Aku sudah dibelikan yang baru sama guruku.”

“Ha? Apa-apaan?! Rugi sama bensinku! Sudah setengah jalan ini mau ke sekolahmu!”

“Main ke kafe sana biar nggak rugi bensin. Dadah~ Terima kasih, kakak. Maaf, ya, mengganggu. Hehe.”

“DASAR RENGGINANG—“

Pip.

[.…][.…][…]

{dibuang sayang}

10 menit sebelum Aliyah siuman….

“Selamat pagi, Pak Hongjoong. Tumben ke koperasi?”

“Iya, Bu Kim, saya mau beli seragam olahraga. Ukuran perempuan kelas 2, tapi kausnya saja.”

“Lho, kenapa, Pak? Buat apa?”

“Buat dikoleksi.”

“??????”

[fin]