Jongho Did Well

Written by Seasideprelude @2020

[ATEEZ] Choi Jongho & [OC] Azzalea

.

Hari ini aku kesal pada Choi Jongho. Cowok itu lagi-lagi membuatku tidak bisa tidur nyenyak karena ribuan pesan dari nomor asing yang masuk ke ponselku. Iya, itu dari barisan ceweknya. Berbeda dengan kakakku, Sungjin, yang sulit jatuh cinta dan jika punya pacar pasti bisa bertahan minimal setahun. Jongho—adik ipar yang sudah hampir tujuh bulan tinggal bersamaku lantaran kedua orangtuanya kerja di luar negeri—jauh lebih bebas dan agak sembrono dengan komitmen, maka kami sering terlibat perdebatan tak berujung mengenai hal ini.

Akibatnya, aku berulang kali mengganti nomor supaya tidak diteror cewek-cewek aneh itu. Lagi pula mereka dapat nomorku dari mana? Apa mereka menganggapku pacarnya Jongho? Kami memang seumuran, sih (tapi aku lebih tua tiga bulan darinya) lalu apakah kami terlihat secocok itu sampai membuat mereka cemburu? Lagi pula aku mana sudi? Bahkan sumpah demi anak-anakku di masa depan, doaku sembah sujud pada nenek moyang di alam baka, semoga aku tidak diberi jodoh yang sifatnya seperti Choi Jongho.

Sekarang kami berdua sedang berdoa di gereja (lebih tepatnya hanya aku) karena Jongho sibuk mengotak-atik ponsel dan kalaupun kusuruh niat, dia akan teriak  “AAAAAAAMIN” duluan. Malu-maluin memang.

Biasanya aku ke sini sama Kak Sungjin, tapi karena hari ini dia sakit, jadinya harus sama Jongho.

Ketika sudah selesai mau langsung pulang, tapi ternyata hujan turun. Meskipun tidak terlalu lebat tapi tetap saja kami akan basah kuyup setibanya di rumah. Akhirnya aku dan Jongho berteduh di depan gereja. Cowok di sampingku ini terus mengoceh tidak jelas. Suaranya bercampur derai hujan seakan berkolaborasi. Dan karena sudah sangat kesal, aku bertanya;

“Yooji itu siapa?”

“Yooji?”

“Iya, Yooji. Dari kemarin SMS aku terus. Pacar barumu?”

“Ciri-cirinya?”

“Ya mana kutahu?! Lagian pacarmu itu berapa, sih, sampai ada yang kelupaan?”

“Pacarku memang banyak, tapi seingatku nggak ada yang namanya Yooji.”

Aku mengeluarkan ponsel untuk memberitahunya nomor yang sudah mengganggu hidupku tiga hari belakangan. Dari sekian banyak cewek—yang mengaku—pacarnya Jongho, mungkin hanya Yooji yang membuatku risih karena ketikannya kasar sekali, sudah macam istri yang ngamuk melihat suaminya selingkuh.

“Ke kafe, yuk? Nggak enak nunggu hujan reda di sini.”

Kami berlarian menuju kafe yang tak jauh dari gereja. Jongho menawarkan diri membelikan minuman hangat. Hal yang paling menyenangkan jika pergi bersama Jongho adalah dia tidak pelit soal uang.

“Mau rasa apa? Americano? Latte? Robusta? Cappucino? Regal? Mocca?”

“Mocca,” jawabku malas.

“Mau tambahan apa? Topping permen, creamer hias, mint, kosongan?”

“Kosongan.”

“Mau minum pakai apa? Gelas, cangkir, atau kamu mau minum langsung dari tempatnya?”

“Aku mau minum pakai panci!”

“Pancinya mau warna apa? Pink, biru, hijau, atau polkadot?”

BACOT LAMBEMU!”

Jongho malah tertawa melihatku emosi. Untung aku tidak kelepasan melempar vas bunga ke mukanya.

Aku menunggu cowok itu sambil sesekali melihat ponsel. Rupanya cewek yang namanya Yooji baru saja menelepon, tapi aku tidak tahu karena kupasang mode pesawat. Ketika Jongho sudah kembali dengan dua gelas berisi Mocca dan Americano, saat itulah kuberikan ponselku serta menyuruhnya membaca seluruh pesan ambigu dari Yooji.

“Oh… dia temenku. Hyunjin yang kenalin.”

“Tapi dia ngakunya pacarmu,” sungutku. “Terus dia, kok, bisa tahu nomorku? Kamu yang bocorin, ya?”

“Iyalah, aku kalau bosen sama mereka, kan, mesti mengkambing hitamkan kamu. Lagian nggak ada yang tau kalau kita sepupuan.”

“Jong, aku sudah pusing mikirin ujian kelulusan, sekarang ketambahan masalahmu.”

“Dan ketambahan masalah cowok-cowokmu di sekolah.”

Cowok-cowokku? Siapa?! Sembarangan ngomong mulutnya apa nggak takut kena azab?!”

“Emang bener, kan? Minggu lalu aku lihat kamu pulang diantar cowok tinggi berambut cokelat, terus kemarin berangkat sekolah bareng cowok rambut kuning lemon. Dikira aku nggak tau? Kamu lagi latihan jadi player, ya? Ha? Apa? Kenapa mukamu jadi nyolot begitu? Mau ngelak?”

Sumpah. Aku tidak tahu harus berteriak atau menjambak rambutnya sampai botak.

“Kita kongkalikong aja, nggak usah ada rahasia lagi. Sebenarnya Kak Sungjin nyuruh aku mengawasimu di sekolah, tapi masa SMA nggak akan indah tanpa ada cinta monyet, kan? Makanya aku selama ini diem. Kurang baik apa aku, Azzalea?”

“Panggil aku ‘Kak Azzalea’! Aku lebih tua tiga bulan!”

“Bodoamat. Sekarang gimana? Tetep nerimo ing pandum jadi kambing hitamku, atau rahasiamu aku bocorin semua ke Kak Sungjin?”

Mau menolak tapi aku tidak punya senjata yang bisa mengimbangi ancamannya. Kampret.

Kenapa, sih, dia harus tinggal bersamaku?! Kenapa dia tidak ikut orang tuanya ke luar negeri?! Kenapa dulu Kak Sungjin dengan senang hati menawarkan diri untuk merawatnya?!

“Sebenarnya Kak Sungjin nggak melarangmu pacaran, Za, dia cuma takut kamu salah arah. Sedangkan di lain sisi dia nggak bisa selalu mengawasimu di sekolah. Tapi tenang, aku nggak setiap detik mengawasimu, kok, apalagi kalau kamu lagi berduaan sama kakak rambut kuning di Lotte—”

“Jong—“

“Atau diem-diem kencan ke sungai Han sama si kakak tinggi berambut cokelat—“

FINE! Kita kongkalikong! Sekarang diem, ya, nggak usah diperjelas!”

Aku menghela napas lelah. Aku dan Jongho akhirnya diam, menikmati minuman masing-masing ditemani suara hujan yang sudah mulai berubah gerimis.

“Ayo pulang,” ajak Jongho setelah kopinya habis.

“Hujan masih lebat.”

“Kita bisa hujan-hujanan.”

“Terus kalau besok aku flu, gimana?”

“Kan, bisa minum obat.”

Aku mengembuskan napas. Lebih lelah. “Nggak mau.”

“Ayo!” Jongho menarik tanganku paksa saat aku masih proses menghabiskan Mocca.

“Rumah kita masih jauh!”

“Hujan nggak akan reda sampai sore. Kalau tetep nggak mau, ya sudah, aku pulang sendiri.”

Jongho berjalan mendahuluiku keluar kafe. Akhirnya, mau tidak mau, aku berlari menyusul sambil meneriakkan namanya. Astaga, bahkan anak itu tidak punya inisiatif berhenti untuk sekadar menunggu langkah kakiku. Tidak peka sekali. Dia juga menolak naik bis, iya masuk akal, sih, karena akan aneh kalau kami naik kendaraan dengan keadaan begini.

Tiga puluh menit berlalu. Kami sudah sampai di rumah. Kak Sungjin yang masih pucat dan baru keluar dari dapur mengomel panjang lebar.

“Bukan aku, Kak Sungjin. Tadi Kak Azzalea yang maksa pulang hujan-hujanan. Padahal tadi sudah kuajak ke kafe tapi dia nggak mau, malah marah-marah kalau nggak dituruti.”

Aku mangap tak percaya. Bocah setan ini bahkan memasang tampang lugu saat menjelaskannya pada Kak Sungjin. Sangat fasih pula, seakan dia sudah merencanakan skenario ini sejak awal.

Terserah mau ngomong apa, Jong. Terserah. Bebas!

Sebelum Jongho melengang ke kamar mandi, dia mengacak rambutku sambil tersenyum jahil. “Hehe, maaf, ya, Kak.”

Dia bahkan menekan kata ‘Kak’ seakan mengejekku. Iya, dia memang selalu mengejekku, tapi kali ini terdengar sepuluh kali lipat lebih menyebalkan.

Aku menghela napas lelah (lagi) guna menyetabilkan emosi. Kemudian ponselku bergetar, ada pesan masuk. Terpampang nomor asing di layar. Aku membaca isinya melalui notifikasi di PopUp.

Heh cewek ceking! Lu pelakor ya?! Berani-beraninya ngerebut jongho padahal cantikan gua! Awas aja lu dasar jablay kampungan!

Oke. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku berjalan ke toilet lalu menggedor-gedor pintunya.

“JONGHOOOOOOOOOOOOO! BODO AMAT LU MAU BOCORIN SEMUA RAHASIA GUE KE KAK SUNGJIN!!!! GUA GAK PEDULI! GUA HABIS DIKATAIN JABLAY KAMPUNGAN!!! JONGHOOOOO!! KELUAAAAAAR!! AYO SEKALIAN KITA BAKU HANTAM DI SINI!!”

Apaan, sih, aku masih keramas!”

“BODO AMAT!! KELUAR ATAU GUA JEBOLIN INI PINTU!!!”

Berisik!! Dibilangin masih keramas!”

“AYO SINI KELUAR LU, SETAN ALASKAAAAAAAAAAA!!!!!”

“Za, mulutmu! Kalau orang tuanya sudah balik, terus lihat Jongho jadi barbar begitu pasti nanti kita yang disalahin.”

“TAPI DIA YANG MULAI DULUAN, KAK! DIA YANG SEBENERNYA NGAJAK HUJAN-HUJANAN!”

“Kalau gitu harusnya kamu ngelarang. Jangan malah saling teriak begini. Pusing, Za, didengerin tiap hari. Pokoknya mulai besok, kalau sampe berantem sama Jongho lagi, kamu yang kakak marahin.”

“Mana bisa gitu, Kak?! Nggak adil banget!”

Hahaha!”

“JANGAN KETAWA LU, JIGONG TAPIR!”

“Za!”

“IYA, KAK, MAAF KELEPASAN.”

[fin]