Soft Hour

IMG_20200125_140311

Soft Hour—

Written by Rijiyo ©2020

with [ATEEZ] Park Seonghwa & Gabrielle

.

Namaku Gabrielle Park, umurku 7 tahun, dan aku punya ayah yang hebat namanya Seonghwa.

Ayahku itu susah bangun pagi karena tidurnya larut malam. Tapi ayah tidak pernah lupa membuatkanku susu cokelat hangat dan membacakan Aladdin (atau memaksanya menyanyikan lagu Sejeong yang Flower Way sampai aku ketiduran).

 

You gave me enough and when it felt that it was too much

I became an adult

To raise a single flower

How much rain fell in your eyes

 

Awalnya aku pusing karena suara ayah jelek sekali, tapi lama-lama ayah punya banyak peningkatan.

Ayah itu serbabisa. Dia pernah membenarkan kran yang rusak, menambal atap yang bocor, mengecat ulang dinding kamarku yang mengelupas, atau menjahit kulit Chungha yang sobek. Chungha itu nama boneka kelinci kesayanganku dan aku juga mengidolakan perempuan itu. Aku bahkan pernah meminta ayah menikahinya, tapi ayah menolak karena katanya Chungha tidak secantik ibu dan tidak suka diajak masak-masakan. Aku heran, darimana ayah tahu? Padahal menurutku ibu dan Chungha sama cantiknya.

Ayah itu tidak tegaan. Pernah aku kena flu dan muntah-muntah, ayah yang baru pulang lembur langsung ke kamarku dengan muka panik. Tanpa bantuan bibi, ayah memberiku obat, mengolesi perut dan punggungku pakai minyak kayu putih, memakaikan kaus kaki, jaket, dan membuatkan air madu. Aku selalu menangis kalau sakit dan kesulitan tidur, tapi ayah siap menemaniku sambil menyanyikan Flower Way sampai kami sama-sama mengantuk (dan ayah lebih sering ketiduran pakai jas karena aku tidak mau ditinggal sendiri).

Ayah itu sangat baik. Ayah tidak masalah mengantarku les biola dan menungguiku di sana bersama ibunya teman-temanku (ayah bahkan mengobrol seru dengan mereka). Ayah jarang membahas ibu sih, tapi ayah tidak membencinya, ayah sangat mencintai ibu malah, tapi ayah bilang ibu sudah bahagia di surga, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Meski begitu, setiap seminggu sekali kami selalu mengunjungi makam ibu.

Ayah juga kuat! Meskipun tidak seperti Paman Jongho yang bisa membelah 10 apel pakai tangan, tapi ayah sanggup mengangkat gas elpiji dari warung menuju ke dapur rumah atau memindah-mindah kursi. Tangan ayah dulu juga pernah kena pisau sampai berdarah ketika membuatkanku sup rumput laut, tapi ayah tidak menangis. Ayah malah tertawa sambil mencuci jari telunjuknya di wastafel! Keren, kan?

Sebelum berangkat sekolah, ayah menyuruhku mandi sendiri (katanya aku sudah besar, jadi tidak boleh dimandikan lagi) dan mumpung ayah tidak lihat, maka aku bermain sabun. Seisi kamar mandi kupenuhi busa, kemudian ayahku yang sudah pakai jas muncul dari balik pintu dan—

“Brielle, kamu ngapain itu?”

“Main.”

“Sekarang sudah jam berapa? Kamu nggak takut dimarahi Bu Guru kalau telat lagi?”

Aku cemberut, lalu menyiram busa-busa itu dengan enggan. Akhirnya karena tidak telaten menunggu, ayah memandikanku sampai jasnya basah. Tapi ayah tidak marah. Ayah hanya bilang kalau nanti dia bisa ganti baju lagi. Setelah memakaikanku seragam dan menguncir rambutku ke belakang, ayah memasukkan kotak bekal ke tasku. Ayah memang selalu begitu. Meskipun masakannya kadang tidak enak, tapi aku senang karena kata Paman Yunho kalau beli jajan di luaran sana banyak kotoran ayamnya. Nanti batuk. Sedangkan aku tidak mau sakit lagi dan membuat ayah khawatir.

Tapi ayah juga menyebalkan!

Sore ini hujan dan aku tidak boleh keluar rumah. Sedangkan teman-temanku di sana menari sambil berlari-lari. Mereka kelihatan bahagia sekali. Kenapa ayah melarangku melakukan itu? Aku pun menghampiri ayah yang sedang duduk di sofa sembari memangku laptop.

“Ayah, aku mau hujan-hujanan, ya?”

“Nggak boleh. Nanti pilek.”

“Cuman sebentar, kok, Yah. Plis plis plis.”

Kini ayah menaruh laptopnya di meja dan menyuruhku duduk di sampingnya. “Dengerin ayah,” ucapnya. “Kamu lupa Paman Wooyoung kemarin bilang apa?”

“Aku ingat. Tapi, kan, aku pengen, Yah. Sepuluh menit?” Aku menunjukkan 10 jari-jariku. “Lagian hujan-hujanan sekali nggak bakal bikin aku demam kayak Liv, kan?”

Aku masih ingat bulan lalu temanku namanya Livia, anaknya Paman Wooyoung, harus dirawat di rumah sakit selama hampir seminggu karena demam tinggi. Kata Paman, sih, itu akibat hujan-hujanan.

“Tapi Bu Guru bilang kalau air hujan itu bagus buat pertumbuhan tanaman. Siapa tahu aku bisa jadi lebih tinggi?”

“Brielle, kamu itu bukan tanaman. Kamu bertumbuh karena ayah setiap hari bikinin sarapan dan susu, bukan karena hujan-hujanan. Air hujan itu kotor dan rambutmu nanti bisa gatal. Siapa bu gurumu yang seenaknya bilang begitu?”

Mataku berkaca-kaca. Apa sekarang ayah membenci bu guruku?

“Ayah jahat! Kata Paman Jongho, kita nggak boleh melawan guru! Kecuali kalau bu gurunya cantik!”

“Apa?” Ekspresi ayah kebingungan dan aku pun menangis. Aku ingin hujan-hujanan. “Kapan Paman Jongho bilang begitu?”

“Ayah, kan, pernah nyuruh Paman Jongho jemput aku pas ayah ada meeting,” jelasku sambil terisak. “Terus aku dianter Bu Seulgi ke gerbang sekolah. Paman Jongho nanya-nanya ke aku tentang Bu Seulgi dan katanya Bu Seulgi cantik. Paman bilang ‘Brielle, bu guru yang tadi sudah menikah?’, aku jawab ‘sudah’. Tapi Paman malah bilang begini ‘Nanti suaminya biar paman belah jadi dua seperti apel-apel itu. Enak aja ngerebut bu guru cantik punyanya paman’. Begitu.”

“Brielle, mulai sekarang kamu nggak boleh kebanyakan main sama Paman Jongho, ya?”

“Kenapa, Yah? Paman Jongho nggak pernah marah-marah, kok.”

“Bukan masalah itu.” Ayah mencium keningku. “Kalau Paman Jongho bicara aneh-aneh lagi kamu harus bilang ke ayah.”

Aku mengangguk tapi air mataku masih keluar. Aku ingin hujan-hujanan.

“Kamu tunggu di sini, ya.” Ayah berdiri dan meninggalkanku bersama laptopnya. Tapi ayah segera kembali sambil membawa… wah, boneka beruang pink? “Ayah lupa kemarin habis beliin kamu boneka. Katanya kamu pengen Chungha ada temennya, kan?”

Aku menghapus air mataku dan mengangguk senang. “Terima kasih, ayah!” Aku memeluknya lalu mencium kedua pipi ayah. “Aku mau main sama boneka ini saja. Karena dia besar, jadi kunamai Hyuna.”

“Apa?!” Aku kaget karena ayah tiba-tiba berteriak. “Kamu tau Hyuna?”

Aku menggeleng. “Nggak tau. Tapi Paman Jongho pernah bilang kalau Hyuna itu besar dan—”

“Cukup, Brielle. Ayah benar-benar harus ngomong serius sama pamanmu yang satu itu.” Ayah mengusap mukanya. Apakah ayah marah? Kenapa? Lagi pula, siapa, sih, Hyuna? Aku memang tidak tahu tapi Paman Jongho sering membicarakannya. “Kamu temenin ayah ngerjain tugas di sini, ya. Jangan di kamar sendirian. Dan… emm, gimana kalau namanya diubah jadi… Sejeong? Bukannya Brielle suka Sejeong?”

“Ah, iya! Sejeong!” Aku jingkat-jingkat menyetujui ucapan ayah. Selain Chungha, aku juga suka Sejeong. Aku bahkan ingin punya rambut seperti dia dan bisa menyanyi di panggung.

Hujan masih belum reda. Tapi aku sudah tidak mau hujan-hujanan. Mending bermain sama Sejeong.

“Brielle?”

“Iya?”

“Ayah capek. Mau bernyanyi buat ayah?”

“Lagu apa?”

“Terserah kamu.”

Sambil menggendong Sejeong, aku mulai bernyanyi Flower Way, sedangkan ayah meletakkan laptopnya lagi di meja dan tiduran di sofa sambil melihatku.

 

You gave me enough and when it felt that it was too much

I became an adult

To raise a single flower

How much rain fell in your eyes

 

Look at me, I have bloomed prettily

Even if I fall to the ground

I will make you walk only on flowers path

 

Even when winter comes

My heart is filled with scent of spring

Because of your love that never withers

 

Aku menoleh.

Ayah sudah tidur.

[…][…][…]

Hari ini aku bosan. Ayah melarang Paman Jongho menjemput, jadinya aku tadi sama bibi. Cuaca sore ini hujan lagi dan ayah belum pulang kerja. Bibi melarangku menelepon pakai telepon rumah karena takut mengganggu ayah. Aku mengerti, kalau ayah sampai tidak sempat menjemputku, berarti ayah benar-benar sibuk di kantor.

Sekarang aku ada di ruang tamu sambil bermain Sejeong dan Chungha. Sepi rasanya. Aku kangen ayah. Bibi tidak seru kalau diajak main tamu-tamuan, jadinya kubiarkan dia memasak di dapur.

Kring kring kring.

Telepon rumah berbunyi. Ketika kuangkat, ternyata itu hanya pesan suara dari ayah. Aku menekan tombol play dan mendengar ayah bicara. Suaranya tidak jelas, banyak srak-srek-srak-srek begitu.

“Bibi, tolong anterin payung ke gang, ya. Ini saya pulangnya ngangkot soalnya mobilnya di bengkel, mogok tadi. Bawakan sandal dan kresek juga.”

Pip.

Pesan suara selesai. Ayahku sedang kehujanan di gang!

Aku pun buru-buru mengambil payung besar di belakang pintu dan mengantongi kresek, tak lupa membawa sandal (tapi sandal ayah jelek-jelek, jadinya aku bawa sandal jepit bibi yang warna ungu polkadot). Sebelum keluar, aku memakai jas hujan dulu biar bajuku tidak basah, kemudian menutup pintu rumah pelan-pelan. Aku menatap langit yang masih mendung dan suara hujan terdengar lebih berisik di luar.

Kata ayah aku tidak boleh jalan sembarangan, makanya aku minggir supaya tidak kena motor yang lewat. Di gang, aku melihat ayah sedang mengibas-ibaskan jasnya dan tidak pakai sepatu. Aku berlari menghampirinya.

“Ayah!”

“Lho, Brielle?” Ayah kaget, lalu jongkok menghadapku. “Kamu ngapain, Sayang? Bibi ke mana?”

“Bibi lagi masak, bibi nggak tau kalau ayah telepon.”

“Kamu, kan, bisa kasih tau bibi biar kamu nggak perlu ke sini.”

“Nggak papa, kan, aku pakai jas hujan. Nggak mungkin kena pilek.”

Ayah tidak menjawab.

“Ayah marah?” tanyaku takut. “Aku nggak mau ayah kehujanan. Ini aku bawa sandal, payung, sama kresek. Ayah harus cepet-cepet pulang biar nggak pilek.”

Ayah mengelus rambutku. “Ayah nggak marah, Brielle. Ayah cuma takut, untung kamu nggak kenapa-napa tadi.”

“Aku jalan di pinggir, kok,” jawabku bangga. “Ayo pulang. Ayah daritadi sudah di sini, ya?”

“Enggak, baru lima menit.” Ayah mengambil kresek di tanganku lalu memasukkan sepatu dan tas kerjanya di sana. Setelah itu memakai sandal bibi (ayah tidak protes meskipun ayah benci ungu, apalagi ungu polkadot). “Sini kamu ayah gendong, payungnya kamu yang pegangin, oke?”

“Oke!”

Ayah menggendongku di punggungnya yang dingin (punggungnya pasti basah kena jas hujanku). Kami jalan sambil mengobrol tentang Chungha dan Sejeong. Aku senang ayah tidak marah karena aku keluar rumah ketika hujan.

Kata salah satu temanku di kelas, aku tidak beruntung karena tidak punya ibu. Kenapa? Ibuku ada di tempat bagus dan bisa langsung bertemu Tuhan, bukankah itu menyenangkan? Aku pernah bertanya tentang alasan ibu meninggal, dan ayah menjawab karena ibu sangat menyayangiku hingga rela mengorbankan nyawanya saat melahirkanku. Aku tidak paham maksudnya, tapi setiap kali kutanyai lagi, ayah selalu menangis setelah itu, jadi aku tidak berani.

Ayahku adalah ayah terkeren di dunia. Selain itu juga masih ada Paman Yunho yang lucu, Paman Jongho yang sering membelikan mainan, Paman Wooyoung yang asik diajak bercerita, Paman San yang punya banyak boneka, Livia yang ceria, dan bibi yang meskipun jarang disuruh ke rumah tapi masakannya enak-enak. Banyak, kan? Makanya tidak boleh bersedih.

Namaku Gabrielle Park, umurku 7 tahun, dan aku punya ayah yang sangat mencintaiku namanya Seonghwa.

“Ayah, ayo menyanyi Flower Way.”

“Oke. Kita nyanyi sama-sama, ya?”

 

Look at me, I have bloomed prettily

Even if I fall to the ground

I will make you walk only on flowers path

 

Even when winter comes

My heart is filled with scent of spring

Because of your love that never withers

 

When I looked at your lips

There was a smile but there were also wrinkles

You gifted me with life

I’m so thankful for the words, I love you

 

Look here, there’s only happiness that remains

Lay everything down and hold my hand

I will make you walk only on flower paths

[fin]

82432820_123931139122609_658074871632894077_n
Ayah, Paman San, Paman Yunho
EPKbPgcWkAA9QgK
Ayah habis nganter Gabrielle sekolah sekalian berangkat ngantor
81458549_521310425408394_5680727868607282039_n
Ayah dan Paman Jongho
78844116_1992420524234667_2447673751277846459_n
Gabrielle Park pecinta Chungha dan Sejeong