Big Uwus

pt2020_01_21_19_23_07

Big  Uwus

 

Written by Rijiyo ©2020

with [ATEEZ] Seonghwa & [OC] Azzalea

Warn! : Dialog non baku

.

Hari ini benar-benar sial. Selain tadi pagi diomeli Kak Sungjin lantaran lupa mencucikan kemejanya yang mau digunakan untuk manggung, aku juga lupa membawa pembalut. Meskipun rokku hitam, tapi tetap saja yang namanya ‘bocor’ itu tidak enak. Mana aku masih piket pula!

Aku menoleh ke sepenjuru kelas. Tersisa Yeji, Jongho, dan Haechan. Namun perhatianku lebih tertuju pada Haechan yang baru selesai menghapus papan tulis. Sadar sedang kuperhatikan, cowok itu menoleh. “Apa?”

Aku merengek, “Chan….”

Buset, manja bener kayak pacar.”

“Pinjem jaket.”

“Buat apa?” tanyanya, namun sedetik kemudian nyengir. “Kamu bocor, ya?”

Setelah mengangguk lemah, Haechan membalikkan tubuhku, lalu berkata dengan santai, “Tapi nggak tembus, kok.”

“YA NGGAK USAH DILIAT JUGA, SAIPUL!”

“Cuman ngasih tau doang. Kamu, kan, nggak bisa liat sendiri.”

“Makanya pinjem jaket.”

“Nggak mau. Ntar bau.”

“Yailah aku cuciin,” balasku. “Pinjem, ya? Ya, ya, ya?”

“Eng-gak-ma-u. Iya aku pelit. Makasih.”

Sebelum kuprotes lagi, Haechan buru-buru melengang keluar kelas seraya berlarian, meninggalkanku di pojokan seperti butiran dosa. Baiklah, tidak apa-apa, tapi kalau besok di mading ada tulisan RIP HAECHAN LEE, jangan lupa kalau pembunuhnya adalah Azzalea Park.

“Jadi, kamu mau ke mana sama Kak Seonghwa?” Jongho tetiba bersuara saat aku bersiap-siap pulang.

“Ke mall. Nonton.”

“Nonton aja?”

“Iya, apa lagi?”

Jongho menutup tirai jendela. “Katanya tadi sakit perut?”

“Biasalah kalo haid masih hari kedua. Lagian udah dikasih obat juga sama Yeji. Kenapa, sih?”

“Nggak papa,” jawab  Jongho. “Cepet pulang. Kalo diapa-apain Kak Seonghwa langsung telepon aku.”

“Kamu mau nolongin?”

“Mau aku kapokin.”

Harusnya aku tahu sifat teman-teman sekelasku tidak pernah luput dari yang memancing emosi.

“Daripada ngomong yang nggak jelas, mending kamu jualan apel sana.”

“Iya, ini mau berangkat kerja. Kan, buat nafkahin kamu juga.” Aku mau baper tapi Jongho mukanya datar sekali pas bilang begitu. Tapi akhirnya aku sungguhan baper ketika ia mengacak poniku dan memberikan jaket birunya sebelum berjalan meninggalkan kelas.

Satu per satu anggota piket pulang hingga tersisa aku. Kuseka keringat di pelipis karena lelah menyapu kelas yang menjurus pasar loak saking kotornya, kemudian mengunci pintu. Kupakai jaket besar pinjaman Jongho yang baunya seharum sabun bayi. Di tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua, ada sesosok jangkung memakai hoodie cokelat gelap yang membuatku senang sedang bersandar di dinding.

“Kak Seonghwa?”

“Ayo.”

“Kakak nungguin aku?”

“Ya kamu pikir aku iseng berdiri di sini?”

Buset, galak bener, Bwank.”

[…][…][…]

“Mau nonton apa?”

Hari ini Kak Seonghwa mengajakku nonton di bioskop. Dia adalah senior tingkat akhir di sekolah dan dikagumi guru-guru. Dia bukan murid terpintar, sih, tapi termasuk siswa menonjol karena jadi wakil organisasi. Dia juga kenal baik dengan Kak Sungjin (karena kalau tidak, maka sampai Elvis bangkit dari kubur pun aku takkan dibolehi berteman dengannya). Sebenarnya ini ajakan tidak spontan karena tadi pagi aku mengeluh padanya kalau ingin diajak bermain. Dan setelah melalui perdebatan sengit, keputusan mutlak akhirnya jatuh pada bioskop yang tak jauh dari sekolah. Aku mengamati poster-poster film di samping pintu. Ada The Slander Man, The Darkest Minds, Jumanji, The Prestige—anjir, ini kenapa horror semua, sih? Tidak ada film India atau Turki, gitu?

“The Prestige.”

Mungkin Kak Seonghwa bisa menangkap raut tak yakin pada wajahku sehingga dia bertanya, “Beneran?”

“Iya, beneran.”

“Awas, ya, kalo nggak nonton. Aku nggak suka ngebayarin orang kalo nggak dihargai.”

Ingin kuteriak : YAUDAH SIH NTAR GUA BAYAR SENDIRI! Tapi faktanya aku hanya mengangguk patuh dan mengekori Kak Seonghwa mengantri tiket. Sembari menunggu, cowok itu menghadapkan tubuhnya padaku. “Mau popcorn?”

“Mau. Yang manis.”

Kak Seonghwa menuntunku menuju penjual snack.

“2 popcorn karamel yang medium.”

Mas-masnya memandangku dan Kak Seonghwa bergantian seraya tersenyum ramah. Hmmm… jangan sampai dia mengatai kami pacaran. Meskipun aku senang dianggap pacarnya Kak Seonghwa, tapi adegan seperti itu bukankah terlalu klise? Bagaimana kalau diganti jadi ‘aku adalah tukang pijat langganannya Kak Seonghwa’?

“Nggak pesan yang large?”

“Nggak, yang medium aja cukup.”

Mas itu tersenyum manis. “Kalo liat kalian gini saya jadi keinget masa muda. Hehe. Seru, ya, kencan sepulang sekolah?”

Tuh, kan. Sudah kuduga orang ini juga pasti suka nonton drama Turki.

[…][…][…]

Film baru berjalan 5 menit, tapi mulutku sudah komat-kamit mengucap istighfar sembari mencengkeram pegangan kursi. Miris sekali, ya. Seharusnya, kan, pegangan tangan sama pacar biar seperti di drama Turki. Tapi masih bagus tidak seperti drama India yang mengharuskanku joget-joget dulu sambil menyanyi kabhi kushi kabhi gham.

Di menit ke—entahlah—backsound mencekam terdengar begitu menggelegar. Aku jadi ingin memprotes pihak dekorasi bioskop karena kenapa, sih, lampunya selalu dimatikan? Bagiamana kalau ada yang kesurupan? Setan juga mulai menampakkan diri dan—BUSETANJERASTAGHFIRULLAH! MUKANYA JELEK AMAT SIH, JANGAN-JANGAN—ASTAGHFIRULLAH—WOI ITU LEHERNYA DICEKEK—ALLAHU AKBAR—LEHERNYA PUTUS—ASTAGHFIRULLAH

JDIAR!

“HUWAAAAAAAA!”

“Aduh!”

Tanpa mengindahkan Kak Seonghwa yang lengannya barusan kupukul sekuat tenaga saking kagetnya, aku menyembunyikan muka dibalik jaket. Kalau ada Haechan, aku pasti sudah menjambaknya dengan anarkis. Tapi berhubung ini Park Seonghwa si wakil ketua OSIS, jadi kagetku harus lebih tahu diri.

“Azzalea.” Kak Seonghwa menarik-narik jaketku. “Udah nggak ada setannya.”

“Serius?”

“Serius.”

Aku menurunkan jaket perlahan, menghela napas lega. Kak Seonghwa memberikan popcorn miliknya padaku (aku baru sadar kalau popcorn-ku sudah tumpah berserakan di atas rok).

“Makan aja punyaku.”

“Iya, makasi—“

JENG JENG JENG!

“KAK SONGJEEEEEEEEEEEEEEEN!”

Untuk kali kedua aku pun menumpahkan popcorn dan memeluk Kak Seonghwa erat-erat.

[…][…][…]

Kak Seonghwa mengajakku ke foodcourt untuk membeli sushi. Sebenarnya tidak apa-apa sih soalnya aku lapar, tapi masalahnya sekarang kondisinya sedang tidak pas untuk makan-makan. Apalagi tadi bocorku semakin deras ketika berteriak sambil ginjal-ginjal saking takutnya. Kenapa pula aku harus memilih film itu? Kenapa tidak ada drama Turki?!

Lagu EXO – Obsession yang mengalun di tape di pojok foodcourt cukup bisa menenangkan pikiranku. Aku menyanyi asal-asalan yang malah menarik perhatian Kak Seonghwa.

“Suka EXO?”

Aku nyengir. “Suka! Red Velvet juga, sih. Stray Kids juga! Tapi belakangan ini aku lagi oleng ke NCT Dream. Day6 juga keren lagu-lagunya.”

“Day6? Band kakakmu sendiri?

“Iya. Tapi aku suka Day6 karena lagunya emang enak, bukan karena ada kakakku. Idolaku justru Kak Dowoon. Kalo Kak Seonghwa sukanya siapa?”

“Ban Ki Moon.”

“Hah?”

“Ban Ki Moon.”

“Siapa itu Ban Ki Moon?”

“Sekretaris jendral PBB,” jelas Kak Seonghwa sebelum menyentil dahiku. “Ketauan ini mesti tidur pas pelajaran sejarah.”

“Kak Seonghwa emang nggak bisa diboongin.” Aku nyengir layaknya bocah. “Aku juga nggak nyangka idolanya kakak begitu. Kolot banget, sih.”

“Bukan kolot. Lagian kenapa mesti artis yang jadi panutan? Kan masih ada Lee Beom Seok, Yi Won Yong, Hwang Kyo Ahn, atau Lee Nak Yeon. Mereka jelas lebih berpengaruh biar Negara kita makin modern, terutama di bagian pertahanan dan kelautan. Sekarang memang lagi marak politisi yang nggak etis. Padahal Korea, kan, Negara maju, agresi militernya juga nggak bisa dianggap remeh. Tapi aku masih nggak paham sama sistem balon propaganda. Kata Juru Taktik Human Rights Foundation, sih, itu bisa menempuh jarak sampe ribuan kilometer buat saluran berita. Kenapa nggak pakai agen atau pengeras suara? Biaya bandar juga pasti lebih murah.”

Seriusan, membicarakan politik justru lebih menyakiti telinga (dan perasaanku) daripada kena omel Kak Sungjin dua jam.

“Kak, bukannya mau merusak nilai estetika deklamasi republika Korea tercinta, tapi sumpah aku enggak paham kamu ngomong apa.”

“Iya, udah keliatan dari mukamu,” sahut Seonghwa. “Lain kali kamu harus belajar sejarah politik lebih banyak. Sama aku.”

“Nggak mau. Boring.”

“Kalo belajar yang lain?”

“Yang penting bukan sejarah atau matematika.”

“Kenapa pelajaran terpenting malah kamu benci?”

“Soalnya aku nggak bisa dan males baca! Males ngitung juga. Tapi kalo ngitung duit kasnya anak-anak, sih, mau.” Aku berhenti mengoceh sejenak karena pesanan kami sudah datang, lalu menyambung tapi berbeda topik biar tidak pusing memikirkan politik, “Kak Seonghwa suka jus alpukat?”

Dia mengangguk sembari menyeruput jus alpukatnya.

“Aku juga suka. Tapi jus di restoran, tuh, rata-rata gulanya dibanyakin, padahal lebih sehat jus asli. Kapan-kapan aku bikinin.”

“Boleh. Bikin yang banyak, ya, biar aku sehat.”

“Tapi kalo minta tiap hari, sih, kakak kudu beliin alpukat biar aku nggak bangkrut.”

“Iya gampang.”

Lalu mulas yang daritadi kutahan semakin tidak karuan, malah rasanya mirip ditusuk. Sepertinya sekarang aku bukan bocor lagi deh, tapi tsunami.

“Kak, aku ke toilet sebentar.”

“Mau dianter?”

“Nggak usah.”

[…][…][…]

Aku menghela napas lega lalu mencuci tangan sebelum melangkah keluar toilet. Untung tadi ada Mbak-mbak baik hati yang memberiku pembalut gratis. Tapi kasihan juga jaket Jongho jadi kena imbas darah menstruasi. Nanti aku harus mencucinya dengan bunga tujuh rupa supaya Jongho mau meminjamiku jaket lagi. Saat aku melangkah keluar, tahu-tahu Kak Seonghwa sudah berdiri di depan pintu sambil membawa seplastik… Hypermart?

“Kakak ngapain?”

“Nih,” jawabnya seraya menyodorkan kantong plastik itu.

Aku melongok isinya dan terbelalak shock.

Pembalut.

“Aku nggak tahu mana yang cocok, jadinya beli yang itu.”

Aku berdeham canggung seraya menerima benda itu dengan malu-malu. “Makasih.”

“Sana ganti. Aku tungguin di sini.”

Subhanallah….

Salah tidak, sih, kalau aku baper di depan pintu toilet?

[…][…][…]

Sehabis ganti pembalut, kami melanjutkan jalan-jalan di mall. Aku memandang wajah serius Kak Seonghwa yang sibuk melihat-lihat sepatu. Kesan pertamaku ke Park Seonghwa adalah pendiam, malah menjurus bisu. Aku sampai heran ; kok, cowok yang irit komunikasi bisa jadi Waketos?

Kami kenalnya juga tidak sengaja, sih, karena Kak Seonghwa itu sepupu jauhnya Kak Wonpil (teman band kakakku). Ketika tahu kalau Kak Seonghwa adalah salah satu anggota organisasi di sekolah, aku jadi tidak canggung mendekatinya dan dia sebenarnya peduli kalau sudah akrab. Anak-anak di sekolah takjub ketika tahu kami saling kenal, tapi mereka tidak sampai mengucilkanku seperti di drama-drama Turki.

Entah sejak kapan kami sudah duduk di kursi di depan sebuah outlet karaoke. Kukira Kak Seonghwa mau mengajakku menyanyi untuk meredakan kekesalannya. Iya, semenjak insiden peluk di bioskop tadi aku akhirnya memutuskan untuk tidur saja daripada mati jantungan. Dan tentu Kak Seonghwa marah. Lebih tepatnya, kecewa. Tapi aku tidak tahu apakah dia masih jengkel atau bagaimana karena sempat membelikanku pembalut dan berbincang seru sambil makan sushi (percayalah dia memang tidak setemperamen itu, tapi aku tetap takut). Omong-omong uangnya habis berapa, ya? Misalkan kalau setiap pergi denganku membuatnya jadi boros, maka dia takkan mau mengajakku jalan-jalan lagi. Tapi siapa suruh membeli pembalut sebanyak itu dan beli sushi? Rencana awalnya, kan, hanya nonton film!

“Kamu lapar?”

“Yekali?! Perutku segede apaan habis makan sushi sama minum jus alpukat bisa laper lagi?”

“Kamu, kok, marah? Aku, kan, cuma nanya.”

“Siapa yang marah, sih?!”

“Iya maaf, aku salah,” balasnya enggan. “Lain kali kalo takut nonton horror, tuh, bilang.”

“Sekarang kakak yang marahin aku?!”

“Aku nggak marah, Za.”

Jawaban Kak Seonghwa yang kalem sontak membuatku mendongak, lalu menunduk lagi. Malu.

“Kenapa?” tanyanya.

“Apanya?”

“Kenapa pilih film itu? Aku nggak masalah misal kamu mau nonton kartun.”

Aku menciut.

“Azzalea, kalo orang lagi ngomong itu diperhatiin.”

Kami kembali berkontak mata, lebih lama dan intens.  Ada beberapa sedetik mata kami bertemu. Dalam waktu yang sedemikian singkat, aku merasakan banyak. Aku merasa ada ledakan besar yang terjadi dalam hidupku. Aku merasa telah memasuki sebuah zaman baru yang belum sempat kuberi judul, tapi aku merasakannya. Sebuah perasaan halus serupa bisikan peri dalam mimpi, tapi aku mendengarnya. Jelas.

Ya Tuhan… diajak ngomong saja rasanya seperti diajak ke KUA.

“Iya, maaf,” cicitku menahan tangis. Sialan, datang bulan membuat suasana hatiku jadi naik-turun. “Uang sushi, nonton, sama pembalutnya aku ganti besok.”

“Nggak perlu. Beliin kamu gituan nggak bikin aku jadi miskin.” Kak Seonghwa beralih menatap jalan raya. “Sekarang kamu mau pulang apa gimana?”

“Hah?”

“Kalo pulang aku anter, kalo masih mau jalan-jalan aku temenin.”

“Pulang aja, deh. Aku pengen ganti baju. Nggak nyaman banget kalo keluar pas haid gini.”

“Ya kamu tadi nggak bilang? Kan, kita bisa jalan kapan-kapan pas haidnya udah selesai.”

“Aku bosen di rumah. Aku juga lagi males sama Kak Sungjin. Kak Seonghwa nggak kapok, kan?”

“Kapok, sih. Tapi aku seneng main sama kamu.”

“Kenapa?”

“Seru.”

Bukannya aku malah sering bikin orang emosi? 

“Yaudah, ayo pulang keburu malem. Nanti aku disambit kakakmu.”

“O-oke.”

“Za?”

“Hm?”

“Aku punya rekomendasi restoran yang bagus. Masih baru berdiri tiga bulanan tapi pelanggannya banyak. Temen-temenku juga udah pada nyoba dan katanya enak. Tempatnya di deket Lotte World. Ini yang punya bisnis asli orang Indonesia, lho.”

“Serius? Keren banget!”

“Iya. Minggu depan aku pengen ngajak kamu makan di sana. Mau?”

“Mau, mau! Namanya apa?”

“Mi Gacoan.”

[fin]

8547d8931ed9081911d33b5dd424b254

2481a2a148731570ef11e518805ec809