Panci

Written by Sunflowinter ©2021

[ENHYPEN] Yang Jungwon

.

Jika dilihat sekilas, orang-orang cenderung gampang tertarik ke Jungwon karena perilakunya sangat manis dan sopan. Berbanding terbalik dengan si kakak, Jongseong, yang selalu dikira ketus.

Bukan bermaksud ketus sih, lantaran muka Jongseong memang pada dasarnya nggak selow sekalipun lagi bahagia pasti dia tetap kelihatan kayak siap-siap mau melakukan mutilasi.

Tapi, manusia nggak ada yang sempurna.

| Ibu Negara 🧕

Jangan lupa umi belikan panci set isi 12 pis ya..👍

12 pis.

Okelah. Maklum, orang tua.

Sebenarnya kalau masalah belanja umi lebih sering minta tolong Jongseong karena selain ahli nawar, cowok itu juga telaten dan betah biarpun sudah keliling pasar berjam-jam.

Tapi berhubung Jungwon tadi pamitan mau beli sepatu futsal di mall, umi jadi sekalian nitip panci.

Jujur saja, Jungwon males banget disuruh beli beginian bukan karena durhaka pada umi, melainkan dia nggak tahu apa-apa.

Jungwon berjalan masuk ke hypermart, hampir 5 menit mondar-mandir mencari area khusus perpancian, dan akhirnya ketemu.

Tapi….

APA-APAAN INI?!

Ada kali Jungwon mematung sepuluh menit. Berpikir panci jenis apa yang dimaksud umi karena di sini banyak banget macamnya!

Sekali lagi, tidak ada manusia yang sempurna.

Dibalik paras imut Jungwon dan sifatnya yang dikenal sopan, rajin, serta ramah, ternyata dia sangat mageran disuruh belanja.

Jongseong yang kayak preman malah sesungguhnya lebih patuh dan pro urusan alat-alat dapur. Macam lelaki yang sudah siap membina rumah tangga.

“Cari apa?”

Jungwon hampir oleng karena kaget ada cewek berambut panjang bertanya. Dari penampilannya yang kasual (bahkan hanya memakai celana jeans dan kaos biasa), dia bukan karyawan.

“Aku daritadi liat kamu diem aja. Kamu nyasar?”

“Aku nyari panci,” jawab Jungwon.

Kalau ada Jeongwoo, pasti Jungwon sudah diejek : cowok ganteng itu nyari cewek, bukan nyari panci!

Ya tapi kalau nggak ada panci nanti umi jadi nggak masak dan Jungwon akan mati kelaparan.

Sedangkan kalau pacaran, kan, masih ada kemungkinan putus dan Jungwon bakal galau nanti.

Intinya, semua hal pasti berisiko.

“Panci?”

“Iya. Tapi aku nggak tau yang mana.”

“Nggak ada petunjuk lain?”

“Isi 12 pieces.”

Cewek itu mengamati sepenjuru rak. “Yang kutau, di sana ada merk Jagoo dan Rosemary.”

Mereka berdua menghampiri rak paling ujung dan di situ ada tumpukan kerdus panci berbagai merk dan aneka warna varian.

Jungwon makin migrain.

“Kalau kamu nyari yang bagus, ada merk Supra. Itu bisa nyampe sejuta. Kalo yang standar ada Jagoo, Happycall, sama Indisah. Tapi di sini yang isi 12 pieces cuman Jagoo. Gimana?”

“Sebentar.” Jungwon mengambil ponsel di saku dan menghubungi umi untuk tanya merk apa. Kemudian, setelah mendapat konfirmasi, Jungwon menghela napas lelah. “Umiku cari merk GSF katanya.”

“Oooh… GSF? Oke, aku coba tanyain ke mbaknya dulu.” Dia melengang menuju kasir dengan percaya diri.

Siapa sih cewek itu? Baik banget sampai Jungwon pengen beliin boba.

“Katanya ada di sebelah rak buah, barangnya baru dateng makanya belum ditata di sini,” jelasnya ketika sudah kembali mendekati Jungwon.

Mereka berdua jalan ke tempat yang dimaksud. Dan benar saja. Tulisan GSF membludak dari berbagai produk panci hingga setrika. Puji syukur. Jungwon lega.

Tapi hidup tak pernah semudah itu Mamat.

Ternyata panci GSF cuma ada yang isi 5 pieces.

| Me

Umi pancinya tinggal yg 5pcs, gimana mi?

| Ibu Negara 🧕

😔😔😔
Ya udah… kagak usah…

Kagak usah.

KAGAK USAH.

Jungwon jadi malu menatap cewek di sebelahnya ini. Mana dia sudah ikutan repot.

“Kenapa? Nggak jadi, ya?”

Jungwon mengangguk. “Iya. Maaf.”

“Kenapa minta maaf?” Dia tertawa. “Udah biasa hal kayak gini mah. Kamu kayak nggak pernah belanja aja.”

Ya emang nggak pernah sih.

Ini pun beli sepatu futsal kepepet karena sepatu lamanya jebol sedangkan besok sore ada turnamen.

“Makasi udah ngebantu. Kamu nyari panci juga?”

“Sama-sama. Enggak, aku kebetulan lewat tadi, dan ketemu kamu yang berdiri kayak patung. Apa nggak linu itu kaki?”

“Aku lagi mikirin panci sampe linunya nggak kerasa.” Jungwon terkekeh. “Nama kamu siapa? Aku Jungwon.”

“Aku Jihan.”

“Kamu kok bisa pro tentang beginian?”

“Enggak pro juga kali, Won.” Jihan menepuk lengan Jungwon. “Aku sering ikut mama belanja.”

“Jadi kamu di sini sama mamamu?”

“Iya. Tapi mama lagi ke area sofa, aku tinggal jalan-jalan soalnya mamaku lama banget kalau lagi milih sesuatu.”

Manis juga cewek ini.

Jungwon mendadak salting.

“Jihan, kamu kelas berapa?”

“Kelas 2 SMA.”

“Sama, aku juga. Sekolah di mana?”

“SOPA. Kamu?”

“Hanlim. Kamu ambil jurusan apa?”

“Vokal. Katanya di Hanlim sekarang ada kolamnya, ya? Aku dulu pengen sekolah di sana, tapi mamaku nyuruh di SOPA aja soalnya deket dari rumah.”

“Lah aku malah kepingin di SOPA soalnya temen-temen SMP-ku pada masuk sana, tapi abah nyuruh di Hanlim soalnya deket sama kampus kakak.”

Well, jadi sudah berapa lama mereka mengobrol di sebelah rak buah? Mana nyaman banget kayak teman lama.

“Jungwon, mamaku barusan ngirim chat nyuruh balik. Kayaknya mau ngajak pulang.”

“Oh, yaudah. Makasi ya Jihan udah bantu tadi, meskipun sia-sia.”

“Sama-sama, Jungwon. Aku pergi dulu, ya. Dadah.” Jihan melambai singkat.

Jungwon balas melambai tapi agak kaku. “Dadah. Jangan lari nanti kepleset.”

“Iya, kamu juga pulangnya hati-hati.”

Masha Allah.

Sudah baik, cantik pula.

Namun ketika cewek itu telah menghilang dari pandangan, Jungwon baru kepikiran sesuatu yang membuatnya harus menerima konsekuensi berupa rasa sesal yang akan ditanggung seumur hidup.

Nomernya…. Harusnya tadi aku minta nomer Jihan….”

Ternyata, selain perpancian, Jungwon juga nggak hoki perkara cewek.

fin

Jihan Weekly