Takjil

Written by Sunflowinter ©2021

[ENHYPEN] Sunoo & Sunghoon

.

Jam 5 sore, Sunoo melongok ke kamar kakak lelakinya yang sedang rebahan sambil bermain hape.

“Mas, ayo beli takjil.” Dengan suara lirih tapi penuh permohonan Sunoo mencoba membuat saudaranya mengalihkan atensi.

Tapi nyatanya Sunghoon cuma mengintip sedikit dari balik hape. “Mager.”

“Ayo to, Mas. Aku kepingin cappucino cincau.”

Hening.

“Mas.”

“Maaaaaas?!”

“Mas Sunghoooooon.”

Jengkel karena kakaknya tidak bergerak dari kasur, Sunoo menyerobot masuk kamar, mengambil penggaris di meja belajar kemudian dipukul-pukulkannya ke wadah parfum kaca milik Sunghoon hingga terdengar bunyi ting-ting-ting yang super berisik.

“CAPPUCINO CINCAU! AKU MAU CAPPUCINO CINCAU DI PASAR! AYO BELI TAKJIL! KEBURU ADZAN!”

Ganggu banget sampai Sunghoon kepingin menempeleng adiknya.

Tapi ya nggak mungkin lah.

Biar pun jutek begini tapi aslinya hati Sunghoon selembut bulu kucing yang baru dikeramasin.

“Kan mama tadi udah bikin es campur, Noo.”

“NDAK MAU! CAPPUCINO CINCAU AJA! AYO BELI TAKJIL ATAU AKU BAKAL BEGINI TERUS SAMPE KUPINGNYA MAS JADI BUDEK!”

Gusti nu agung.

Dulu mamanya ngidam apa, ya?

Sunghoon tak habis pikir.

“Yaudah ayo. Pakai jaket sana,” perintah Sunghoon sambil bangun ogah-ogahan. Padahal lagi asik main zombie tsunami, tapi gara-gara Sunoo rame banget bikin hilang fokus hingga semua zombienya mati nabrak tembok dan jadi kalah.

“Naik motor ya, Mas?”

“Nggak usah, jalan kaki aja kan deket pasarnya.”

“NDAK MAU! PENGEN NAIK MOTOR! POKOKNYA KUDU NAIK MOTOR ATAU AKU—“

“BERISIK! IYA NAIK MOTOR!”

[….] [….] [….]

Di sepanjang pasar terbuka, Sunoo sama saja ngeselinnya kayak di rumah. Tadi maksa minta beli apa, tapi pas sudah ke sini malah merengek minta hal lain.

“Mau dawet, Mas.”

“Mas, bubur kacang ijo!”

“Es kopyor, Mas! Plis plis pliiiiiiis.”

“Bubur mutiara, Mas! Aku pengen bubur mutiara!”

Demi Allah.

Sunghoon lagi berusaha sekuat tenaga menahan 2 hawa nafsu sekaligus : lapar dan marah.

Kan nanggung banget sudah jam segini batalin puasa cuma gegara kelepasan memarahi Sunoo. Akhirnya ia hanya bisa mengalihkan pikiran supaya di dalam hati tidak mengumpati adiknya yang masih SMP ini karena tetap saja hukumnya dosa biarpun tidak diucap.

“Aku pengen kolak pisang,” kata Sunghoon, akhirnya menyuarakan pendapat karena melihat anak kecil lewat di hadapannya sambil menyendok kolak pisang.

Sunoo mengernyit. “Emangnya enak?”

“Enak. Beli itu aja, ya?”

“Nggak mau! Aku, kan, pengen cappucino cincau!”

“Nggak ada yang jual, Noo.”

“Tapi biasanya budhe itu ada di sini. Kok tumben, ya, warungnya ilang? Apa dia libur?”

“Kolak pisang ae. Kamu itu lho harus sering makan buah, jangan cappucino tok.”

“Tapi Mas tau sendiri aku ndak suka pisang.”

“Yaudah beli dawet aja.”

“Ndak mau.”

“Tadi katanya pengen dawet?”

“Ndak jadi, sekarang pengen es oyen.”

Sunghoon :

Sabar… sabar….

Adzan masih setengah jam lagi….

“Yaudah, es oyen. Tapi habis ini jangan rewel, ya?”

“Iyaaa.”

Tapi Sunoo tetaplah Sunoo.

Dia masih ribet bahkan untuk perkara memilih dikasih topping buah cempedak atau leci.

Sunghoon tabah.

Sunghoon kuat.

[….] [….] [….]

Naas.

Di depan pintu rumah ketika mereka baru pulang, dua kap jumbo es oyen yang dibawa Sunoo tumpah karena sang empunya jatuh lantaran tersandung kakinya sendiri.

Mau balik ke pasar buat beli lagi tapi adzan maghrib sudah berkumandang.

Sunghoon mau nangis rasanya.

Sedangkan si adik :

“Sunoo minta maaf ya, Mas….”

fin

permisi kapalku mau lewat~