Serendipiti

27709370_161251317997731_8293638607245135157_o.jpg

Serendipiti

 

Written by Rijiyo ©2019

with [ATEEZ] Yunho & [ITZY] Lia

Recommended song : ATEEZ – Thank U, Minseo – Growing Up,  AKMU – Last Goodbye

.

Dia menjadi saudaraku saat orang tua kami yang sama-sama berstatus tunggal memutuskan untuk menikah. Awalnya aku sangat membenci ayah tiriku karena kupikir dia telah merebut ibu dari ayah kandungku yang padahal sudah meninggal. Aku bahkan hampir tidak pernah bicara—apalagi tersenyum—pada dua orang asing yang tetiba tinggal serumah dan mengaku-ngaku keluarga baruku.

Tapi ketika ada seorang anak lelaki berusia 3 tahun di atasku, berpipi gembul, tersenyum ramah, mengajakku bercanda dan bercerita panjang lebar tanpa sungkan… perlahan-lahan semua itu berubah.

Dialah Jeong Yunho, kakakku.

[…] […] […]

Kak Yunho adalah anak dari ayah tiri yang kubenci, dan seharusnya aku membencinya juga. Tapi ternyata tidak. Aku kesulitan membencinya bahkan sejak kali pertama bertemu.

Dia ajaib.

“Lia, ayo makan.”

“Enggak mau!”

“Ibu sudah memasak nasi goreng kesukaanmu. Lihat, nih, ada telur dan mentimun di atasnya.”

“Sudah kubilang enggak mau!”

“Nanti kalau kamu sakit perut, ibu pasti akan sedih. Aku juga sedih.”

“Aku enggak mau makan!”

“Kamu kenapa? Bertengkar sama temanmu, ya?”

“Itu bukan urusan kakak! Sana pergi dari kamarku!”

“Aku akan pergi kalau kamu mau makan.”

“Enggak mau!”

“Oke, kalau begitu aku punya penawaran; kalau kamu mau makan, nanti malam aku akan ajak kamu bersepeda di Hongdae. Katanya kamu suka melihat-lihat lukisan di sana, kan?”

“Tapi… tapi, kan, ibu melarang bermain di Hongdae malam-malam.”

“Enggak apa-apa, kan, ada aku. Lagi pula ke sana cuma sebentar. Aku yang akan ijin ke ibu.”

“Kalau enggak boleh, bagaimana?”

“Pasti boleh. Percaya sama aku.”

“Kenapa aku harus percaya?”

“Karena aku kakakmu.”

Aku pasti akan berhenti merajuk saat ia mengatakan kalimat itu. Karena aku kakakmu, kalimat yang  sangat menenangkan. Terlebih jika Kak Yunho yang mengatakannya untukku. Hanya untukku.

[…] […] […]

Kak Yunho selalu berada di sisiku dan siap kapan pun aku membutuhkan perlindungan. Dia seperti perisai yang tidak takut pada apa pun kalau itu menyangkut aku.

“Lia, kenapa kamu menangis?”

“Hyunjin dan Han….”

“Kenapa? Apa lagi yang dilakukan dua bocah tengil itu?”

“Mereka mengambil susu pisangku….”

“Lalu kenapa lututmu berdarah?”

“Mereka mendorongku sampai jatuh, Kak.…”

“Apa?! Di mana mereka sekarang?! Berani-beraninya melukai adikku!”

Lalu keesokan harinya, orang tua kami dipanggil ke sekolah karena Kak Yunho memukul Hyunjin dan Han hingga menangis. Tapi setelahnya, dua cowok nakal itu jadi tidak pernah menggangguku lagi. Aku sangat berterima kasih pada Kak Yunho meskipun selama seminggu ke depan cowok itu harus menerima hukuman pemotongan uang saku perkara pertengkarannya dengan Han dan Hyunjin yang masih kelas 5 SD.

[…] […] […]

Kak Yunho selalu memesona di mataku dengan kepolosan dan kemurnian hatinya. Ia adalah bocah kecil dengan pipi kemerahan dan mata bulat. Entah mengapa—untuk ukuranku saat itu—aku beranggapan bahwa dia tampan.

“Kak, kalau sudah besar nanti kamu ingin menikah sama siapa?”

“Enggak tahu, yang penting dia harus pintar memasak dan baik seperti ibu. Kamu bagaimana?”

“Aku ingin menikah sama cowok seperti kakak.”

“Kenapa?”

“Soalnya kamu lucu dan sering membelikanku es krim.”

[…] […] […]

Kak Yunho tumbuh dengan cepat. Dia menjulang sangat tinggi untuk ukuran remaja seusianya. Dia juga sudah bisa merawat diri dan ke mana-mana selalu pakai parfum. Pipi gemuknya berubah jadi tirus, dan rambut hitam pekatnya tampak berkilau apalagi jika tertiup angin. Suaranya jadi berat seperti bapak-bapak, tapi anehnya aku malah semakin kagum.

“Lia, bilang kalau Kak Yunho ganteng.”

“Kak Yunho ganteng.”

“Katakan yang tulus.”

“Kak Yunho sangat-sangat-sangat ganteng. Enggak ada cowok paling ganteng selain Kak Yunho di dunia. Puas?”

“Oke. Aku puas.”

“Kalau begitu, kakak juga harus bilang aku cantik.”

“Setiap hari aku sudah bilang kalau kamu cantik.”

“Itu, kan, rutinitas. Tapi sekarang aku mau kakak merayuku.”

Dia mengacak rambutku sambil menunjukkan senyum yang selalu berhasil membuatku terkesima. Dia akan selalu melakukannya setiap merasa gemas padaku. Dan, sebelum dirayu, kurasa aku sudah meleleh duluan.

[…] […] […]

Waktu berlalu bagaikan lembar cerita di atas kertas pada sebuah buku. Setiap dibalik, akan menampilkan cerita yang lain. Dibalik akan ada cerita lain lagi dan lain lagi. Terus berlanjut sampai menemui titik akhir. Begitupun kami. Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Sekarang Kak Yunho benar-benar menjadi pria dewasa. Dia sibuk kuliah, sedangkan aku sibuk dengan sekolah yang memasuki tahun ketiga. Di saat seperti ini, Tuhan memberi kami kejutan dengan tiba-tiba mendatangkan cinta.

Kak Yunho sering bercerita padaku soal perasaannya kepada gadis yang identitasnya dirahasiakan. Andaikan aku bisa membaca pikiran, aku ingin mengetahui siapa gadis yang berhasil membuat kakakku tersenyum sepanjang hari dan seberapa istimewanya dia dibanding aku.

“Lia, bagaimana supaya cewek enggak menolak kalau ditembak?”

“Hm?”

“Kata-kata romantis? Puisi cinta? Cokelat?”

“Enggak. Itu kuno.”

“Lalu apa? Masa aku enggak bawa apa-apa? Nanti dikira enggak niat.”

“Kakak cuma perlu jujur.”

“Ha? Segampang itu? Sungguh?”

“Iya. Tapi pertama-tama, kakak harus mengajaknya kencan di tempat yang bisa membuatnya nyaman. Kakak jangan sampai berlebihan dan membuatnya jijik.”

“Oooh… begitu, ya.”

“Memangnya siapa, sih, cewek itu?”

“Rahasia, dong. Nanti kalau sudah resmi pacaran baru kamu kuberi tahu.”

Aku tidak bisa berkata apa pun lagi. Isi kepalaku kosong. Hatiku rasanya pecah berkeping-keping. Aku seperti tidak rela kakakku menyukai cewek lain. Aku tidak siap dengan cerita selanjutnya. Aku takut nanti dia akan melupakanku, lalu meninggalkanku, jauh di belakang.

[…] […] […]

Hidup itu hanya tinggal permasalahan waktu. Kita punya banyak opsi untuk menjalaninya. Dan terkadang, dari sekian opsi yang begitu baik, kita hanya diperbolehkan memilih satu. Hanya satu untuk kelanjutan cerita di kehidupan kita. Terkadang kita memang tak harus memiliki apa yang kita inginkan.

“Kakak, maaf aku mencintaimu.”

Aku memeluk punggungnya saat Kak Yunho sedang memakai jaket di kamar. Aku tahu saat ini dia tengah bersiap-siap untuk kencan pertamanya. Dia tampak terkejut, dan langsung membalikkan badan, menatapku dalam-dalam dengan pandangan bingung.

“Apa maksudmu?”

“Aku enggak mau kamu pergi. Aku enggak mau kamu pacaran sama cewek itu.”

“Choi Lia, ada apa denganmu?”

“Sudah jelas, kan, Kak? Aku mencintaimu. Choi Lia mencintaimu!”

Aku merengkuhnya lagi lebih erat, tapi dia melepaskannya dengan paksa. Sorot matanya tajam bagai hunusan pedang dan aku sekuat tenaga memberanikan diri membalas tatapan itu.

“Lia, kamu enggak boleh berkata begitu.”

“Aku cinta sama kakak!”

“Tapi kita ini saudara.”

“Apa masalahnya? Kakak lupa kalau kita cuma saudara angkat?”

Kak Yunho menghela napas berat seolah tidak memahami jalan pikirku, kemudian mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang. “Lia, perasaanmu yang enggak mau kehilanganku bukan berarti kamu mencintaiku.”

“Lalu apa? Kak Yunho sudah enggak menyayangiku lagi? Iya?!”

“Meskipun kita enggak ada ikatan darah, tapi kita sudah menjadi saudara selama dua belas tahun. Kamu pasti tahu aku sangat menyayangimu melebihi apa pun, dan seharusnya kamu enggak perlu khawatir sampai menyalah artikan perasaanmu sendiri.”

“Perasaanku enggak salah karena kamu bukan saudara kandungku! Kenapa kamu begini, Kak? Kenapa kamu menyangkal perasaanku?”

Air mataku tumpah. Aku tahu aku sudah terlampau jauh melewati batas, tapi aku juga tidak bisa menahan perasaanku lebih lama. Kutepis jemari Kak Yunho yang berniat menghapus air mata di pipiku karena dia memang selalu tidak tega melihatku menangis.

“Lia, kamu hanya salah mengartikan rasa sayangmu. Tolong jangan begini. Ibu dan ayah pasti sangat kecewa kalau tahu.”

“Tapi… Kak Yunho….”

“Enggak ada ikatan cinta yang lebih abadi daripada keluarga, Lia. Aku dan dia bisa saja putus, tapi kita akan menjadi selamanya.”

Aku selalu merindukan suara itu. Kini ia mengalun lagi, lebih lembut, penuh pemahaman, seolah hatiku adalah robot yang otomatis akan patuh kalau Tuannya berbicara.

“Aku sangat bersyukur bisa punya adik sepertimu, Lia. Aku enggak mau kehilangan kamu. Aku akan tetap berada di sisimu sebagai keluarga, sebagai kakak.”

Air mataku semakin deras. Aku benar-benar egois. Meskipun kami memang tidak memiliki hubungan darah, tapi kami adalah saudara. Waktu membuat kami jadi begitu dekat hingga aku melupakan batasanku sebagai adik. Aku merasa tersudut. Malu akan perbuatanku sendiri.

Kak Yunho memelukku dengan hati-hati. Aroma shampo dan parfum menguar dalam tubuhnya.

“Kamu tahu, Lia? Hidup ini seperti piano. Berwarna putih dan hitam. Tapi ketika Tuhan yang memainkannya, semua akan menjadi indah.”

“Maafkan aku, Kak. Aku menyesal.”

“Keluarga itu enggak ada kata meninggalkan dan melupakan. Kamu enggak perlu takut. Aku enggak akan ke mana-mana.”

Aku tahu. Kak Yunho takkan pernah pergi. Sejauh apa pun, sesulit apa pun, dia akan tetap berada di sisiku. Sekarang aku tahu kalau Tuhan memang sangat baik karena Dia mengirimkan padaku seseorang yang dekapannya lebih hangat daripada matahari.

Namanya Jeong Yunho.

Dan dia adalah kakakku.

[…] […] […]

Enam tahun berlalu. Tak terasa ia sudah lama menjalin hubungan dengan Kak Sihyeon—gadis yang dulu sering ia rahasiakan namanya. Kak Sihyeon sangat cantik, rambutnya panjang, dan pintar memasak. Dulu aku sangat canggung saat pertama bertemu karena biar bagaimana pun rasa sakit itu masih ada. Tapi lambat laun aku bisa dekat dengannya karena dia sangat baik.

Hari ini, Kak Yunho menikah. Pria itu tampak keren dengan jas putih dan dasi kupu-kupu di kerah lehernya. Aku takjub seakan tidak percaya kalau punya kakak setampan ini. Kak Sihyeon juga cantik dengan gaun panjang dan sebuket bunga di tangannya. Di belakangnya ada beberapa anak kecil yang menaburkan bunga mawar di altar. Kak Sihyeon begitu sempurna berdiri di samping Kak Yunho. Aku tersenyum lega. Akhirnya hari yang sering kutakutkan mampu kulewati dengan rela.

[…] […] […]

Kak Yunho dan Kak Sihyeon memutuskan tinggal di luar negeri.

Bukan karena kemauan mereka, tapi perusahaan Kak Yunho yang dipindahtugaskan di negeri Paman Sam itu. Aku sedih, tapi aku tahu kalau aku tidak boleh mengulangi masa-masa egois. Aku kembali tersenyum sambil mengingat saat beberapa bulan lalu, di mana kakak bilang kalau dia mau menikah, dia seperti minta restu dariku. Aku sempat berpikir… aku benar-benar akan kehilangannya. Tapi aku harus bersikap dewasa. Kak Yunho juga berhak bahagia dengan seseorang yang ia cintai.

Hingga akhirnya, aku berucap, “Kalau kakak bahagia, aku juga bahagia.”

Seperti yang pernah kukatakan dulu; hidup itu hanya tinggal permasalahan waktu.

Yunho. Jeong Yun Ho.

Aku berterima kasih atas semua yang pernah ia lakukan untukku. Ke depannya, mungkin, aku sudah takkan meminta perlindunganya lagi.

 […] […] […]

Hari ini adalah ulang tahunku. Biasanya Kak Yunho akan memberiku kejutan dengan memberi boneka beruang raksasa atau jalan-jalan ke Lotte World. Tapi, tahun ini berbeda. Meskipun aku sedang disibukkan dengan tugas kuliah, tapi aku masih tetap tidak bisa melupakan setiap kenangan masa kecilku dengannya. Sayangnya, semenjak tinggal di Negeri Barat, dia jarang mengirim kabar pada kami. Seasyik itukah kehidupan setelah menikah? Aku jadi ingin menikah juga!

“Lia, ada surat untukmu.”

Malam harinya, ibu melongok dari balik pintu kamar dan memberiku sebuah amplop. Aku membuka surat itu dengan jantung berdebar. Apa ini dari penggemar rahasiaku?

Sekejap kemudian kedua mataku terbelalak.

Ini surat dari Kak Yunho!

Aku pun melompat-lompat di kasur seperti orang gila. Kemudian, aku mencium dan memeluk surat itu dengan penuh kerinduan. Akhirnya yang kutunggu-tunggu datang juga. Aku membuka surat itu dengan perasaan membuncah, apalagi saat melihat tulisan yang seperti cakaran ayam itu memenuhi kertas.

 

Selamat ulang tahun! ^^ Aku sayang kamu, Choi Lia.

Hadiahnya dikirim besok saja ya hehe soalnya hari ini aku sibuk sampai nggak sempet belanja. Sihyeon juga sudah menyiapkan sesuatu untukmu. Tapi tenang, nanti kujamin kamu suka.

Dari : kakakmu yang paling ganteng

 

Ternyata, dia memang takkan pernah pergi dari sisiku. Dia akan selalu jadi yang terbaik. Iya, kan? Harus! Karena namanya Jeong Yun Ho.

Dan dia adalah kakakku.

[fin]

IMG_20191123_224621.JPG

37d316643c28209919ba319cedcf949a.jpg

d8085186b298647183cc942e93149848.jpg

4a5fd62810bb060b1f7c7ccdb6dd77b4.jpg

d9073bf3fba20322c337ae44f6253272.jpg

a6f98d2a7d56626c862b61e4f9889d35

 aku juga gabakal tahan kalo punya abang kek gini