I Can(t) Wait

697a7f40e8886815fcfa92a3ec481eb3.jpg

I Can(t) Wait

 

Written by Rijiyo ©2019

.

Bagaimana rasanya saat kamu merindukan seseorang dan ketika bertemu, dia membawa berita yang tidak enak didengar telingamu? Amat-sangat-super-duper tidak menyenangkan!

Sejauh ini aku masih baik-baik saja karena warung Bu Atik dari dulu sama; keremangannya, mejanya, kursinya, bahkan menunya. Aku bisa merasakan angin musim kemarau berembus melalui jendela, juga debu-debu beterbangan dengan brutal ke seluruh penjuru jalan desa yang masih belum di aspal. Aku menyeruput es teh, kemudian melihat selembar kertas berwarna biru langit berhias bunga-bunga di atas meja. Sungguh konyol. Apa-apaan kedua nama yang tertulis di sana? Sangat tidak cocok.

Aku singgah bukan untuk makan. Di sini—di warung yang tidak pernah direnovasi sejak kepindahanku ke luar kota tiga tahun lalu—ingin mengklarifikasi sesuatu.

Aku sedang menunggu seseorang, tapi yang ditunggu tidak tahu diri.

Matahari semakin condong ke barat dan aku mulai gelisah. Aku tidak boleh pulang larut karena jarak kota ke desa lumayan jauh. Pekerjaan juga menungguku esok hari. Aku berusaha tenang dengan tidak membombardir Mas Irfan di whatsapp supaya cepat datang. Sekarang aku masih mengumpulkan kekuatan supaya nanti bisa mengomel karena ini adalah masalah paling menjengkelkan daripada ketika Mas Irfan tidak mengucapkan apa pun saat ulang tahunku yang ke 20 bulan lalu.

Menit-menit berkurang. Aku semakin gelisah karena tidak ada tanda-tanda, aroma, radar, dan langkah kaki Mas Irfan. Aku sangat marah padanya, terhitung sudah tiga hari. Bisa-bisanya dia tidak menghubungiku padahal dulu kami berjanji akan sering berkabar. Maksudnya apa, coba? Masa selama ini aku cuma dianggap bayang-bayang semu?

[…] […] […]

10 tahun yang lalu….

 

“Dek Za masih ngambek sama Mas?”

“Nggak.”

“Tapi, kok, nangis?”

“Enggak! Aku nggak nangis!”

Sudah satu jam kami begini. Aku duduk membelakangi Mas Irfan di depan teras rumah. Sembari memeluk boneka gajah pemberian Pakdhe Yudi, aku pura-pura melihat ibu menjemur karak. Tidak kuhiraukan Mas Irfan yang sedari tadi membujuk, merayu-rayu, bahkan merengek supaya aku tidak marah lagi. Bodoamat. Pokoknya aku tidak mau melihatnya. Aku kesal!

Cowok yang lebih tua 2 tahun itu barusan merusak bonekaku, namanya Berry. Tadi dia pinjam, habis itu dimain-mainkan sampai ekornya patah.

“Kenapa nangis, sih? Berry, kan, jelek.”

“BERRY NGGAK JELEK! MAS IRFAN YANG JELEK!”

“Aku, kan, udah minta maaf, Dek. Nanti aku beliin lagi, ya?”

“ENGGAK MAU!”

Teriakanku membuat ibu menoleh, kemudian menggeleng maklum. Kalau dibiarkan terus menerus, bisa-bisa seharian kami tidak jadi bermain dan ibu akan menyuruhku tidur siang.

Maka, aku berbalik badan guna menghadap si tinggi bermata cokelat itu. Tapi entah kenapa menatap wajahnya membuatku naik pitam. Akhirnya aku pun berbalik badan lagi.

“Tuh, kan, masih ngambek.”

Diam sejenak.

“Za? Azza? Azzalea?” Mas Irfan mencolek punggungku.

“Berry….” Aku kembali sesenggukan.

Dramatis sekali.

“Apa bagusnya, sih, boneka pink pucet itu? Nggak pernah kamu cuci. Bau iler. Dia juga nggak bisa ngomong. Mending tumbas lagi yang baru.”

Semudah itu? Dasar cangcorang. Akibat sikapnya yang tidak sentimental, aku semakin tersedu-sedu sembari merengkuh Berry.

“Dek Za, kalo kamu masih belum maafin, mas punya satu permintaan.”

Mendengar nada suaranya yang serius, aku berbalik dengan muka sembab. “Apa?”

“Ini bukan permen, bukan dibeliin boneka baru.”

“Iya. Apaan?”

“Ayo nikah.”

Hah? Gimana?

“Iya, nikah. Kayak Mbak Yani sama Mas Sulton kemarin itu, lho. Nanti kamu didandanin, terus aku pake kopyah. Seru, kan?”

Ooooh.

“Tapi aku nggak punya cincin.” Mas Irfan tampak bingung. “Aku nggak punya uang, ntar aja kalo udah kerja kubeliin cincin, ya?”

Aku mengangguk antusias. “Kita jadi nikah?”

“Jadi, tapi…,” Mas Irfan mendekatkan mulutnya ke telinga kiriku, “jangan bilang siapa-siapa. Kata bapak, aku baru boleh nikah 10 tahun ke depan. Tungguin, ya?”

Aku menghapus air mata. “Oke. Aku tunggu dan aku nggak bakal bilang siapa-siapa. Terus… ini aku jadi didandanin kayak Mbak Yani?”

Mas Irfan menggeleng, kemudian dia menyisir rambut panjangku dengan jemari-jemarinya. “Gini aja udah cantik, kok. Nah, sekarang kamu jadi istriku. Nggak boleh nangis lagi, ya?”

Yeah. Kamu tahu, saat itu hidungku mampet dan kepalaku pusing karena kebanyakan menangis. Namun melihat Mas Irfan tersenyum dan mengajakku menikah, perlahan aku merasa membaik, karena jauh dari itu semua, Mas Irfan adalah sosok istimewa yang pernah kumiliki.

[…] […] […]

Cih. Menikah apanya! Ini bahkan sudah 10 tahun dan dia tidak menepati janji.

 

Mas Irfan, ini Bunga Azzalea (kalo sampeyan masih inget sih) 

Aku benci sama mas. Nggak pernah ngabarin, sekalinya kasih kabar malah bikin aku nesu. Pokoknya aku nesu. Beneran nesu. Aku udah nunggu lama di sini, suratnya aku titipin ke Ibuk Atik aja ya, lagian aku sungkan di sini lama-lama apalagi cuman pesen teh. Nggak kerasa dulu kayaknya aku baru lulus SMA, habis itu ikut ibu sama bapak ke Malang. Alhamdulilah kerjaanku lancar (aku sekarang juga udah bisa masak). Bapak sama ibu sehat. Gimana kabar sampeyan? Kabar bapak, emak, sama mas fahrul juga gimana?

 

Sampeyan boleh mampir ke Malang. Nanya aja sama mas Putra, dia tahu alamat rumahku yang baru. Tadi aku mau sekalian mampir ke rumah sampeyan, tapi ternyata udah pindah -_- Kata pak lukman, sampeyan pindah ke Gondanglegi, ya? Aku nggak tau mau nyamperin ke mana, makanya aku suruh sampeyan ke sini. Sekarang aku mau balik soalnya takut pulang kemaleman. Minggu depan aku usahain date

 

“Za?”

Aku spontan mencoret-coret tulisan konyol itu, melipatnya sembarangan, lalu mendongak.

“Maaf, ya. Macet tadi di Tumpang.” Mas Irfan duduk di depanku dan dengan tanpa dosa meneguk es teh punyaku sampai habis. “Aku dari rumah temenku, ngambil motor. Kemaren dipinjem sama dia.”

Nggak nanya!

“Za, kok, diem?” tanyanya. “Gimana kabar kamu? Kalo nggak kukasih kabar itu, kamu nggak bakal ke Sumbermanjing, ya? Sibuk nyari duit mulu sekarang, kayak mau nikah aja.”

Mboh.” Aku membuang muka. Tetiba muncul rasa ingin dimanja, seperti dulu saat aku merajuk. Tapi sepertinya tidak mungkin.

“Heh, Za. Ojo nesu disek. Ini kita baru ketemu, lho. Masa kamu nggak mau cipika-cipiki sama aku, gitu?” Mas Irfan menjawil tanganku yang bertumpu di atas meja.

“Aku nggak nesu.”

“Tapi mukamu judes.”

“Ya emang udah kayak gini dari dulu!”

“Dan kamu teriak, berarti emang lagi nesu.”

Aku mengembuskan napas kesal. Cowok berambut hitam pekat itu memang memahami sifatku dan aku semakin merindukannya. Selama tiga tahun tinggal di Malang tanpa sosoknya dan aku ingin—di pertemuan pertama kami setelah sekian lama berpisah—memeluknya erat sambil bilang kalau aku tidak bisa hidup tanpanya.

Astaga. Enggak gitu juga kali.

“Aku sebenernya mau kasih tau kamu jauh-jauh hari.”

“Terus?”

“Nggak siap. Hehe.”

Aku mendengus. Apa yang membuatnya tidak siap? Aku, kan, sudah mengenalnya sejak kecil! Aku menggenggam rahasia-paling-rahasia di hidup Mas Irfan. Aku bahkan tahu betapa aneh caranya memakan terong penyet, atau saat dia masuk rumahku hanya pakai celana dalam sehabis dimarahi emak lantaran bermain lumpur di sawah dan mengganggu para petani.

Tapi pada akhirnya dia memberitahuku.

Tidak ada satu sel di otakku yang mengerti apa yang dipikirkan Mas Irfan. Sesungguhnya, aku jauh lebih tidak mengerti mengapa setelah bertahun-tahun tidak bisa mengusir perasaan ini. Perasaan yang membuat jantungku berdetak kencang saat dia berada di sampingku, yang menciptakan rona merah merayapi kulit wajahku, yang membuatku tidak bisa tidur hampir setiap malam.

Aku… jatuh cinta padanya.

Huek. Jijik.

Saat pindah ke Malang, seluruh saraf di tubuhku bersorak kegirangan. Kupikir tiga tahun tanpanya akan membuatku pergi mencari orang lain. Ternyata aku salah. Tiga tahun tanpa Irfan Hardinata Angkasa adalah masa-masa terburuk dan aku tidak mau merasakannya lagi. Inginnya aku pulang dan tinggal di Desa Sumbermanjing, menikah dengan Mas Irfan, lalu hidup bahagia selamanya—seperti mimpiku dulu.

Tapi setelah Mas Eki mengabariku lewat whatapp, mengenai berita itu, well,
aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hidupku setelah ini.

“Hari pertama di rumah Aramita dulu, sih. Habis itu di rumahku, di Gondanglegi. Aku maunya kamu ikut nyinoman, Dek.”

Dek’.

Sudah lama tidak kudengar panggilan itu.

“Nggak mendadak, kok. Wong aku sama dia udah pacaran hampir 2 tahun. Dia seumuran kamu, Dek. Tapi kayaknya tuaan dia beberapa bulan. Kamu nggak pengen ngerti wajahnya?”

Aku belum menjawab tapi Mas Irfan sudah mengambil ponsel di saku, kemudian menunjukkan foto sesosok gadis berambut sebahu yang berpose ceria di pesisir pantai.

“Kustiana Aramita. Namanya bagus, ya?”

Idih, ndeso gitu. Masih bagusan namaku!

“Lusa temenin aku ke rumah Mas Eki, ya. Dia ikut ngurusin dekor soalnya.”

Kenapa nggak nyuruh calon bojomu buat nemenin? Ngapain masih ngajak aku?!

Aku tidak yakin apakah ini yang kuinginkan, karena… seharusnya aku merusak rencana itu. Aku harus merobohkan terpal pernikahan mereka, mencekik pak penghulunya, menjambak si Kusti-kusti jelek itu, dan mematahkan kursi tamu satu per satu. Iya. Asik juga membayangkan jadi pelakor.

“Irfan, yokpo kabare? Wes suwe gak mampir nang Buk Atik. Azzalea ngenteni sampeyan ket mau.” Pemilik warung yang semakin berumur itu mendekati kami seraya tersenyum. Beliau membersihkan meja dari sampah-sampah pengunjung.

Sehat, Buk. Nggih, niki mau tasik macet ten Tumpang.”

Aku tersenyum miris. Tahu akan begini akhirnya, lebih baik aku tidak perlu bekerja di Malang. Mending tetap di Sumbermanjing bersama Mas Irfan. Aku tidak mau menjadi sekadar adik baginya. Aku tidak suka dia menikah dengan orang lain. Apa dia lupa pernah menjanjikanku cincin? Aku bahkan rela menunggu 10 tahun sesuai permintaannya.

Selama ini, aku selalu berpikir Mas Irfan milikku. Menikah atau tidak, situasinya akan tetap sama. Tapi kini, semua terasa berbeda. Terasa jauh, seakan ada tembok tinggi sebagai pembatas. Aku bahkan tidak berani menyentuh dan menatap matanya seperti dulu. Keinginan untuk memeluknya erat terpaksa kukubur dalam-dalam. Ibarat film, Mas Irfan adalah Pangeran, Kusti-jelek adalah Putri, sedangkan aku adalah Tukang Kebun.

Lagi-lagi aku tersenyum miris. Kurasa, bisa mengenal Mas Irfan sudah lebih dari cukup. Karena jarang-jarang, kan, ada Pangeran yang mau berteman dengan Tukang Kebun? Well, walaupun begitu, aku tetap harus mengahadapi kenyataan kalau Irfan Hardinata Angkasa memang tidak ditakdirkan untukku dan fix, minggu depan aku mau jadi pelakor saja.

[fin]